Ketika Kebenaran Terasa Pahit
foto: onepathnetwork
UM Surabaya

*) Oleh: Sigit Subiantoro,
Anggota Majelis Tabligh PDM Kabupaten Kediri

Nasihat kebenaran sering kali mirip dengan jamu — pahit saat dirasakan. Ada yang menolaknya karena tak mau merasakan pahitnya. Namun, ada pula yang menerimanya, karena memahami manfaat di balik kepahitan itu.

Itulah mengapa, ketika kita menyampaikan kebenaran, kita kerap menghadapi dua reaksi yang berbeda:

Orang bijak akan merenung, sementara orang bodoh akan tersinggung.

Orang bijak merenung karena ia menyadari bahwa nasihat itu berguna baginya. Sebaliknya, orang bodoh merasa tersinggung karena menganggapnya sebagai sebuah penghinaan.

Situasi ini ibarat meyakinkan lalat bahwa bunga lebih indah daripada sampah. Lalat takkan percaya, sebab ia telah terbiasa hidup di tumpukan sampah dan mencium bau busuknya. Ketika kita menunjukkan bunga yang indah dan harum, ia pun menolak.

Saat tubuh sakit, makanan selezat apa pun akan terasa hambar di mulut dan lidah. Demikian juga, hati yang sakit (bahkan hati yang mati) takkan mampu menerima nasihat, karena ia tak bisa merasakan manisnya iman, yaitu kebahagiaan dan ketenangan sejati di dunia dan akhirat.

Hal ini sejalan dengan perkataan Malik bin Dinar:

إن البدن إذا سقم لا ينجع فيه طعام ولا شراب ، وكذلك القلب إذا علق حب الدنيا لم ينجع فيه المواعظ

“Sesungguhnya badan apabila terkena penyakit, maka akan sulit untuk menelan makanan dan minuman. Demikian pula hati, apabila telah tertutup oleh kecintaan kepada dunia, maka akan sulit menerima nasihat.” (Sifatus Shafwah 2/172)

Semoga bermanfaat. (*)

Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini