Rida, artinya tengan, senang, dan rela terhadap ketentuan Allah SWT. Sikap rida pada Allah memiliki sikap husnuzan, optimistis, lapang dada, dan jauh dari iri-dengki terhadap ketentuan yang dihadapinya.
Dari Aisyah radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda:
من التمس رِضا اللهِ بسخَطِ الناسِ ؛ رضِيَ اللهُ عنه ، وأرْضى عنه الناسَ ، ومن التَمس رضا الناسِ بسخَطِ اللهِ ، سخِط اللهُ عليه ، وأسخَط عليه الناسَ
“Barang siapa yang mencari rida Allah walaupun orang-orang murka, maka Allah akan rida padanya dan Allah akan buat manusia rida kepadanya.
Barang siapa yang mencari rida manusia walaupun Allah murka, maka Allah murka kepadanya dan Allah akan buat orang-orang murka kepadanya juga.” (HR. Tirmidzi no.2414)
Jika dibenci orang karena melakukan kebenaran, jangan berusaha mencari rela dan support orang itu dengan melakukan pelanggaran agama.
Percayalah, rida mereka tidak akan didapat, namun murka Allah pasti. Jadi rugi dua kali.
Dari ‘Abbas bin ‘Abdil Muththalib radhiyallahu ‘anhu, bahwa dia telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ذَاقَ طَعْمَ الإِيمَانِ مَنْ رَضِيَ بِاللَّهِ رَبًّا وَبِالإِسْلامِ دِينًا وَبِمُحَمَّدٍ رَسُوْلاً
“Akan merasakan kelezatan/kemanisan iman, orang yang rida kepada Allah sebagai Rabbnya dan Islam sebagai agamanya serta (nabi) Muhammad sebagai rasulnya.” (HR. Muslim no.34)
Hadis tersebut menunjukkan besarnya keutamaan rida kepada Allah Ta’ala, Rasul-Nya dan agama Islam, bahkan sifat ini merupakan pertanda benar dan sempurnanya keimanan seseorang.
Orang yang tidak menghendaki selain (rida) Allah Ta’ala, dan tidak menempuh selain jalan agama Islam, serta tidak melakukan ibadah kecuali dengan apa yang sesuai syariat Rasulullah, maka ia akan merasakan kemanisan dan kelezatan iman.
Dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu , dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيْهِ وَجَدَ بِهِنَّ حَلَاوَةَ الْإِيْمَانِ، مَنْ كَانَ اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا وَأَنْ يُـحِبَّ الْمَرْءَ لَا يُحِبُّهُ إِلَّا لِلهِ، وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُوْدَ فِـي الْكُفْرِ بَعْدَ أَنْ أَنْقَذَهُ اللهُ مِنْهُ، كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِـي النَّارِ.
“Ada tiga perkara yang apabila perkara tersebut ada pada seseorang, maka ia akan mendapatkan manisnya iman, yaitu;
(1) barang siapa yang Allâh dan Rasûl-Nya lebih ia cintai dari selain keduanya.
(2) apabila ia mencintai seseorang, ia hanya mencintainya karena Allâh.
(3) Ia benci untuk kembali kepada kekufuran setelah Allâh menyelamatkannya sebagaimana ia benci untuk dilemparkan ke dalam neraka.” (HR. Bukhari no. 16). (*)
*) Dr. Ajang Kusmana, dosen Universitas Muhammadiyah Malang