UIN Salatiga menyelenggarakan Kuliah Umum untuk mahasiswa baru dengan mengusung tema ‘Moderasi Beragama di Era Artificial Intelligence (AI)’. Kuliah umum kali ini menghadirkan Dr. Fajar Riza Ulhaq, MA, Staf Khusus Menteri Sekretaris Negara (Stafsus Mensesneg RI).
Dalam pemaparannya, Fajar menyampaikan bahwa aktivitas keseharian telah melibatkan kecerdasan buatan. Smart Phone yang ada sekarang berisikan kecerdasan buatan.
“Artificial Intelligence atau kecerdasan buatan, kita jumpai sejak memakai handphone. Artificial Intelligence kita temui. Ketika kita ketik di google, biasanya akan muncul kata prediksi, kita memilih apa selanjutnya,” tutur Fajar yang juga Ketua Lembaga Kajian dan Kemitraan Strategis (LKKS) Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah.
Bangsa Indonesia, lanjut Fajar, sejatinya memiliki DNA tengahan. Sebagaimana dicontohkan oleh tokoh bangsa dalam merumuskan dan memutuskan Pancasila sebagai dasar negara. Kendati membawa pemikiran dari kelompok-kelompoknya, namun dapat melakukan konsensus.
“Konsensus fundamental, mengenai konstitusi bangsa, Pancasila. DNA bangsa ini tengahan, washatiyyah. Tidak mengambil ideologi agama, tidak mengambil ideologi sekuler. Bangsa lain mengagumi, karena bangsa ini DNAnya washatiyah,” tegas Fajar
Fajar menuturkan, setidaknya ada lima Indikator dalam moderasi beragama. Lima indikator moderasi beragama itu, Pertama, Komitmen kebangsaan. Apa pun agama kita tidak mempersoalkan kebangsaan kita.
Kedua, Toleransi yang tinggi. Islam berkembang bisa diterima di Indonesia secara damai, karena menebarkan tasamuh, toleransi. Karena cara beragama secara ekstrem, akan memicu benturan. Masing-masing agama di Indonesia melakukan upaya moderasi agar tidak terjadi benturan.
Ketiga, Menghargai tradisi. Islam berkembang baik karena menghargai tradisi. Menerima tradisi yang membawa maslahat, menolak yang mafsadat.
Keempat, Menjauhi perilaku kekerasan. Kekerasan fisik, namun juga verbal, bullying. Bullying musuh pendidikan, bullying bagian dari kekerasan.
Kelima, Menerima modernitas, menerima kemajuan. Tradisi dan modernitas harus seiring dan sejalan, tidak perlu dipertentangkan. Karena manusia ini orientasi ke depan.
Fajar juga menegaskan, tidak cukup melakukan moderasi agama, namun juga diperlukan moderasi keindonesiaan. Yang menyelamatkan bangsa ini adalah sikap moderat, tengahan.
Fajar memberikan kiat dalam upaya menghadapi isu-isu di media sosial. Pertama, suspend jugment (penundaan penghakiman).
“Preferensi bacaan, kalau suka dengan suatu tokoh dibaca, kalau tidak diabaikan. Kalau sesuai dengan kita maka kita share. Kita harus melakukan penilaian,” ujarnya.
Kedua, Critical thinking, nah kita harus punya budaya kritis. Ini yang membedakan orang dengan yg tidak kuliah. Critical thinking menjadi piranti penting anda untuk survive pas kuliah nanti.
Ketiga, Kesadaran dan empati. Perkembangan AI, beberapa tahun ke depan melihat perkembangan AI ke depan. Namun tidak ada yg dimiliki AI yaitu kesadaran dan rasa. Kapabilitas intelektual dan memiliki empati. Selain intelektual, kampus harus mengasa rasa, empati. Mengasah kecerdasannya, dan mengasah hatinya.
UIN Salatiga mengusung branding Green Washatiyyah Campus.
Rektor UIN Salatiga, Prof. Zakiyudin Baidhawi MA menuturkan, green washatiyah itu memiliki makna keseimbangan, equilibrium. Diharapkan mahasiswa dan alumni UIN Salatiga senantiasa menjalani kehidupan dengan keseimbangan.
Pada tahun ajaran 2024/2025 UIN Salatiga menerima mahasiswa baru, doktor, magister dan sarjana berjumlah 2.555 orang. UIN juga menerima mahasiswa non Muslim. Selain itu juga, menerima mahasiswa asing dari 15 negera berjumlah 36 orang. (*/tim)
Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News