Bijak Menerima Pujian, Jangan Sampai Terjebak!
foto: getty images
UM Surabaya

*) Oleh: Dr. Ajang Kusmana

Jangan sombong dan jangan berbesar hati kalau menerima pujian. (KH. Ahmad Dahlan)

Setiap manusia terlahir dengan kelebihan masing-masing, dan hal tersebut ada kalanya patut mendapat apresiasi. Salah satu caranya adalah dengan memberikan pujian.

Untuk memberi pujian kepada orang lain, hal pertama yang dibutuhkan adalah ketulusan. Setiap orang pasti senang dipuji, namun mereka juga pasti kecewa apabila pujian yang kita sampaikan jauh bertolak belakang dari kenyataan dan kita tidak benar-benar tulus mengucapkannya.

Oleh karena itu, jika kita ingin memberi pujian pada seseorang untuk membuatnya senang atau untuk menghiburnya, maka carilah hingga ke celah terkecil untuk menemukan kebaikan darinya.

Tidak perlu memaksakan pujian yang berlebihan. Demikian juga ketika mendapat pujian, sudah sepatutnya kita memberi jawaban yang baik sebagai bentuk apresiasi atau penghormatan.

Pujian merupakan pernyataan dan penghargaan yang tulus akan kebaikan kelebihan atau keunggulan dari suatu hal. Dalam Al-Qur’an dan sunah disebutkan ada empat macam pujian.

Pertama, Pujian Allah SWT kepada diri-Nya. Dia berhak memuji diri-Nya atas segala kekuasaan-Nya.

”Sesungguhnya Akulah Allah, tidak ada Tuhan kecuali Aku. Maka sembahlah Aku dan dirikanlah salat untuk mengingat Aku.” (QS Thaha (21): 14).

Kedua, Pujian Allah SWT kepada makhluk-Nya. Allah SWT memuji kemuliaan akhlak Nabi Muhammad SAW. ”Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar di atas akhlak yang agung.” (QS Al-Qolam (68): 4).

Ketiga, Pujian makhluk kepada Allah SWT. Dalam surat Al-Fatihah ayat 2 disebutkan, ”Segala puji bagi Allah, Rabb pemelihara alam.”

Imam al-Maraghi dalam tafsirnya mengatakan, ketika manusia mengucapkan alhamdulillah, berarti ia memuji Allah SWT. Lafadz hamdu merupakan pujian yang dilontarkan atas perbuatan baik yang keluar dari pelakunya tanpa paksaan.

Alhamdu adalah inti ungkapan rasa syukur. Seorang hamba yang tidak pernah bersyukur kepada Allah SWT berarti ia tidak pernah memuji-Nya. Manusia tidak boleh merasa dirinya pantas untuk dipuji. Justru seharusnya seluruh makhluk memuji Allah SWT karena hanya Dialah yang pantas dipuji.

Keempat, Pujian makhluk kepada makhluk. Rasulullah SAW mengajarkan memuji manusia, ketika diberi kebaikan dengan ucapan jazakallah khair (semoga Allah membalasmu dengan kebaikan).

Pujian ini semata-mata dimaksudkan untuk mendoakan. Mengharapkan pujian adalah manusiawi. Namun, Allah SWT mengecam keras orang yang suka dipuji.

لَا تَحۡسَبَنَّ الَّذِيۡنَ يَفۡرَحُوۡنَ بِمَاۤ اَتَوْا وَّيُحِبُّوۡنَ اَنۡ يُّحۡمَدُوۡا بِمَا لَمۡ يَفۡعَلُوۡا فَلَا تَحۡسَبَنَّهُمۡ بِمَفَازَةٍ مِّنَ الۡعَذَابِ‌ۚ وَلَهُمۡ عَذَابٌ اَ لِيۡمٌ

”Janganlah sekali-kali engkau menyangka orang-orang yang sangat suka dengan apa yang telah mereka lakukan dan suka dipuji atas sesuatu yang tidak mereka kerjakan, janganlah sekali-kali engkau menyangka, mereka akan selamat dari siksa. Bagi mereka adalah siksa yang pedih.” (QS Ali-Imran (3): 188).

Entah berapa banyak kata-kata pujian yang kita ucapkan kepada orang lain. Sementara itu, tidak sedikit pula pujian yang tertuju kepada diri kita. Namun, memuji dan menyanjung Allah SWT sering kali kita nomorduakan.

Padahal, semulia-mulia orang adalah yang senantiasa memuji Allah SWT dan yang menerima pujian dari Allah SWT.

Pujian itu disampaikan karena perbuatan baik atau kelebihan yang dimiliki. Karena itu, kebaikan atau kelebihan diri kita berupa ilmu, harta, pangkat, dan sebagainya jangan sampai membuat kita terlena dengan pujian.

Apalagi dengan sengaja memancing orang lain agar memuji kita. Bahkan, sahabat Ali bin Abi Thalib ra senantiasa berdoa ketika pujian menghampirinya.

”Ya Allah ampunilah aku atas apa yang mereka tidak ketahui (soal diriku). Dan janganlah Engkau menyiksaku karena perkataan mereka. Dan jadikanlah aku lebih baik dari apa yang mereka sangkakan.”

Pujian memang terkadang mengasyikkan bagi sebagian orang, namun ternyata pada hakikatnya pujian adalah melenakan. Diceritakan, di samping Rasulullah SAW ada orang yang memuji-muji temannya.

Lalu, Rasulullah saw. mengingatkannya. Kata beliau, ”Celaka kamu! Kamu telah memotong leher saudaramu itu. Kalau ia mendengar, ia tidak akan senang.” Kemudian beliau melanjutkan, ”Kalaulah kamu harus memuji saudaramu, lakukanlah itu secara jujur dan objektif.” (HR Bukhari-Muslim).

Hadis di atas mengingatkan kita agar tidak sembarang memuji atau memberikan pujian sekadar asal bapak senang (ABS). Pujian semacam itu selain tidak mendidik, juga sangat bertentangan dengan norma-norma agama. Pujian yang dilakukan secara berlebihan menjadi bagian dari bencana lidah (min afat al-lisan) yang sangat berbahaya.

Dalam buku Ihya ‘Ulum al-Din, Imam Ghazali menyebutkan enam bahaya (keburukan) yang mungkin timbul dari budaya ABS itu. Dikatakan, empat keburukan kembali kepada orang yang memberikan pujian, dan dua keburukan lainnya kembali kepada orang yang dipuji.

Bagi pihak yang memuji, keburukan-keburukan itu berisi beberapa kemungkinan. Pertama, ia dapat melakukan pujian secara berlebihan sehingga ia terjerumus dalam dusta.

Kedua, ia memuji dengan berpura-pura menunjukkan rasa cinta dan simpati yang tinggi padahal sesungguhnya dalam hatinya tidak. Di sini, ia berbuat hipokrit dan hanya mencari muka.

Ketiga, ia menyatakan sesuatu yang tidak didukung oleh fakta. Ia hanya membual dan bohong belaka.

Keempat, ia telah membuat senang orang yang dipuji padahal ia orang jahat (fasik). Orang jahat, jangan dipuji biar senang, tetapi harus dikritik biar introspeksi.

Sedangkan bagi pihak yang dipuji terdapat dua keburukan yang bisa timbul. Pertama, ia bisa sombong (kibr) dan merasa besar sendiri (ujub). Keduanya, kibr dan ujub merupakan penyakit hati yang mematikan.

Anda akan merasa bahwa Anda begitu sempurna. Sehingga, malah menjadi meremehkan kemampuan orang lain. Kemungkinan, Anda juga akan menolak gagasan-gagasan baru yang muncul. Karena telah menganggap bahwa cara Andalah yang terbaik.

Pencapaian Anda yang sering mengundang pujian membuat Anda merasa yang paling benar. Lalu pada saat terjadi perubahan yang semestinya berjalan demi kebaikan, Anda akan melakukan penolakan. Karena Anda menilai bahwa itu adalah suatu kesalahan.

Selain itu, Anda juga bisa meremehkan segala tantangan yang akan datang kemudian. Seolah Anda selalu siap untuk menghadapinya.

Keangkuhan bisa menjadikan Anda teledor. Bahkan sesuatu yang seharusnya bisa Anda hadapi dengan baik, malah menjadi bumerang untuk diri Anda sendiri.

Kedua, ia bisa lupa diri dan lengah karena mabuk pujian. Orang yang merasa besar dan hebat, pasti ia lengah.

Karena sudah hebat ia merasa tidak perlu bersusah payah dan bekerja keras. Kerja keras hanya mungkin dilakukan oleh orang-orang yang merasa banyak kekurangan dalam dirinya.

Menurut Imam al-Ghazali, pujian boleh dilakukan asalkan dapat terhindar dari keburukan-keburukan. Bahkan, terkadang pujian itu diperlukan.

Rasulullah saw pernah memuji Abu Bakar, Umar bin Khattab, dan sahabat-sahabat beliau yang lain.

Namun, pujian beliau dilakukan dengan jujur dan penuh kearifan. Beliau juga sadar betul bahwa pujiannya tidak akan menjadikan para sahabatnya itu sombong.

Oleh karena itu, agar tidak mabuk karena pujian, seseorang perlu mengenali dirinya sendiri. Ia tentu lebih tahu dirinya sendiri ketimbang orang lain yang memuji.

Dengan begitu, ia tidak akan lengah, karena sadar tidak semua pujian yang dialamatkan kepadanya sesuai dengan kenyataan.

Ketika menghadapi pujian, jangan keburu merasa puas. Bukan berarti Anda harus selalu merasa tidak puas.

Tapi, tanyakan pada orang-orang di sekeliling Anda. Apakah dibalik pujian yang Anda terima masih ada hal-hal yang harus Anda perbaiki.

Ingat, bahwa ‘Di atas langit masih ada langit’. (*)

Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini