Bisa bersyukur merupakan kenikmatan dari Allah yang tak terhingga. Betapa tidak, dengan adanya rasa syukur setidaknya ada kenikmatan yang tetap bisa dinikmati, sehingga tidak menghilangkan kenikmatan yang pernah dirasakan.
Kaum Saba’ mendapatkan kenikmatan yang sangat agung. Namun hilang rasa syukur sehingga membuat kehidupan mereka berubah total.
Hal ini bermula ketika ada seseorang yang berusaha mengingatkan kaum mereka agar bersyukur atas nikmat yang telah dilimpahkan pada mereka.
Bukannya patuh, mereka justru membangkang dan merasa sombong. Mereka kufur terhadap kenikmatan dan melupakan terhadap Sang Pemberi kenikmatan.
Akhir kehidupan mereka berakhir tragis. Tanah yang tadinya subur berubah menjadi rusak, buah tidak lagi melimpah, dan bahkan berubah menjadi pahit dan mereka hidup dalam kekurangan dan kehinaan.
Rasa Syukur dan Kemuliaan
Bisa bersyukur merupakan kenikmatan amat besar, dan itu akan memperpanjang kenikmatan yang sedang dirasakan manusia.
Terkadang manusia tergelincir ketika memperoleh kenikmatan, dan berbuat dosa.
Namun ketika beristighfar atas kesalahan, dan diiringi rasa syukur, atas segala kenikmatannya, maka Allah pun akan mengampuni dosa-dosa kecil yang pernah dilakukan oleh manusia.
Tidak sedikit manusia yang terkadang lupa bersyukur dan bahkan berperilaku menyimpang ketika memperoleh nikmat.
Ketika yang diperoleh dengan mudah terkadang lupa tidak dikeluarkan sebagiannya untuk membantu orang lain.
Ketika diberi kesehatan terkadang lupa tidak memanfaatkan kekuatan fisiknya untuk berbuat kebaikan.
Bahkan manusia yang sehat dan berharta melimpah justru lupa atas kenikmatan yang diperolehnya.
Namun ketika mengingat karunia Allah yang melimpah padanya, membuat dirinya sadar hingga muncul rasa syukur. Hal inilah yang membuatnya berhenti melakukan kemaksiatan.
Allah menggambarkan satu masyarakat yang memperoleh kenikmatan, berupa hidup yang berkecukupan, serta kekayaan alam yang melimpah.
Allah menggambarkan kaum Saba’ yang dianugerahi rezeki yang baik dengan hasil kebun yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Allah menjelaskan hal itu sebagaimana firman-Nya:
لَقَدْ كَا نَ لِسَبَاٍ فِيْ مَسْكَنِهِمْ اٰيَةٌ ۚ جَنَّتٰنِ عَنْ يَّمِيْنٍ وَّشِمَا لٍ ۗ کُلُوْا مِنْ رِّزْقِ رَبِّكُمْ وَا شْكُرُوْا لَهٗ ۗ بَلْدَةٌ طَيِّبَةٌ وَّرَبٌّ غَفُوْرٌ
“Sungguh, bagi kaum Saba’ ada tanda (kebesaran Tuhan) di tempat kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri, (kepada mereka dikatakan), “Makanlah olehmu dari rezeki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kepada-Nya.
(Negerimu) adalah negeri yang baik (nyaman) sedang (Tuhanmu) adalah Tuhan Yang Maha Pengampun.” (QS. Saba’ : 15)
Para ahli tafsir menjelaskan kemakmuran negeri Saba’ mewarisi kejayaan Ratu Bilqis yang masuk Islam melalui Nabi Sulaiman.
Allah melimpahkan kekayaan pada mereka berupa kebun mereka sangat subur. Di tengah kebin ada waduk besar yang mengairi kebun yang amat luas itu.
Mereka bisa memanen hasil kebun hingga 3 kali setahun. Udaranya sangat sejuk, sehingga mereka dianugerahi kesehatan.
Sedemikian suburnya daerah ini, hingga tidak ada hama atau wabah yang merusak tanaman mereka.
Melimpahkan hasil kebun itu digambarkan ketika ada seorang perempuan yang membawa keranjang dan ditaruh di atas kepalanya, maka keranjang itu penuh dijatuhi buah-buahan.
Di tengah kenikmatan yang besar itu, ada ajakan seorang rasul atau orang shalih yang memerintahkan agar bersyukur dengan banyaknya kenikmatan itu.
Dia melihat hilangnya rasa syukur dari penduduk Saba’. Orang saleh itu menyeru kepada penduduk untuk memuji Allah, dan bersyukur atas melimpahnya karunia itu.
Alih-alih bersyukur atas seruan itu, mereka justru bersikap sombong dan angkuh sehingga semakin lupa atas kenikmatan itu.
Tergelincir dalam Kenikmatan
Ini merupakan gambaran manusia yang tergelincir dalam kesalahan ketika terhampar kenikmatan. Allah Yang Maha pengampun akan mengampuni dosa-dosanya, asal manusia mau meminta ampun dan mengakui segala dosanya.
Allah juga tidak akan mengazab bila manusia mau bersyukur dan tidak enggan beristighfar untuk mengakui kesalahannya.
Berpalingnya kaum Saba’ diabadikan Allah, dengan bencana besar yang menimpanya.
Mereka tidak bersyukur dan bahkan kufur ketika di atas puncak kenikmatan. Hal ini dinarasikan Allah sebagaimana firman-Nya:
فَاَ عْرَضُوْا فَاَ رْسَلْنَا عَلَيْهِمْ سَيْلَ الْعَرِمِ وَبَدَّلْنٰهُمْ بِجَنَّتَيْهِمْ جَنَّتَيْنِ ذَوَا تَيْ اُكُلٍ خَمْطٍ وَّاَثْلٍ وَّشَيْءٍ مِّنْ سِدْرٍ قَلِيْلٍ
“Tetapi mereka berpaling, maka Kami kirim kepada mereka banjir yang besar dan Kami ganti kedua kebun mereka dengan dua kebun yang ditumbuhi (pohon-pohon) yang berbuah pahit, pohon Asl dan sedikit pohon Sidr.” (QS. Saba’ : 16)
Mereka bukan hanya kufur nikmat tetapi mereka berbuat syirik. Akhirnya Allah mengirim banjir dengan arus yang sangat deras, sehingga menghancurkan waduk (bendungan) sehingga terjadi banjir besar.
Dengan adanya banjir ini maka hasil kebun berubah dan berganti rasa. Dua kebun yang tadinya memiliki buah melimpah tiba-tiba berasa pahit dan kecut.
Ini akibat mereka lalai atas masa yang indah dengan berbagai kenikmatan, hingga lupa diri dan terjerumus dalam kemaksiatan besar, dan lupa dari istighfar.
Kaum Saba’ benar-benar lalai di saat kenikmatan melimpah. Mereka tidak sadar bahwa kesuburan tanah, udara yang sejuk, ketiadaan hama dan wabah, serta buah yang melimpah hingga kebutuhan hidup tercukupi tidak disadari sebagai karunia Allah.
Mendapat kenikmatan demikian, membuat mereka angkuh dan sombong, hingga melakukan kemaksiatan yang menjauhkan diri dari bersyukur dan mentauhidkan Allah.
Mereka telah melakukan kekufuran besar karena menganggap bahwa kenikmatan semuanya dipandang karena usahanya sendiri hingga melalaikan Allah.
Melalaikan Allah merupakan kekufuran besar sehingga Allah pun mengganti kenikmatan itu menjadi kebinasaan dan kehinaan. (*)
*) Dr. Slamet Muliono Redjosari, Dosen UIN Surabaya dan Wakil Ketua Majelis Tabligh PWM Jatim