Pemikiran Khawarij, dari Padang Pasir ke Platform Media Sosial
UM Surabaya

*) Oleh: Ali Efendi, M.Pd,
Kepala SMPM 14 PP. Karangasem & Ketua Foskam SMPM-MTsM Lamongan

Saat membuka lemari perpustakaan pribadi, saya menemukan sebuah buku kecil berjudul “Syi’ah dan Khawarij dalam Perspektif Sejarah”. Penulisnya adalah Prof. Nourouzzaman Shiddiqi, Guru Besar Sejarah Islam IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Buku lawas ini, berukuran kecil (11×17 cm) dengan 93 halaman, pertama kali diterbitkan pada tahun 1985.

Saya masih ingat membelinya pada tanggal 7 Mei 1995 di koperasi mahasiswa seharga Rp 2.500, saat saya kuliah di Fakultas Adab IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta pada tahun 1990-an.

Meski berukuran kecil dan murah, buku ini memiliki isi yang sangat penting dan dapat dijadikan referensi untuk mata kuliah Sejarah Perkembangan Pemikiran Islam di jurusan atau program studi Sejarah dan Kebudayaan Islam (SKI) di Perguruan Tinggi Agama Islam.

Buku ini secara garis besar membahas dua topik utama: gerakan Syi’ah dan Khawarij, meliputi sejarah kelahiran dan perkembangan, serta teori politik dan doktrin agama yang dikembangkan oleh kedua aliran tersebut.

Artikel ini secara khusus akan mengupas doktrin agama atau ideologi yang dikembangkan oleh gerakan Khawarij serta relevansi pemikiran sebagian umat Islam di Indonesia yang mengisi ruang media online sebagai bentuk reaksi terhadap kekecewaan politik.

Konsep Teologi Khawarij dalam Sejarah

Secara bahasa, “Khawarij” berasal dari kata “khariji,” yang berarti orang-orang yang keluar atau memisahkan diri. Dalam konteks sejarah, Khawarij merujuk pada kelompok yang memisahkan diri dari barisan Ali bin Abi Thalib.

Kelahiran aliran Khawarij bermula dari kekecewaan para pendukung Khalifah Ali bin Abi Thalib yang menerima tahkim atau perundingan pasca-Perang Shiffin tahun 657 M/37 H melawan Mu’awiyah bin Abu Sufyan, gubernur Damaskus dan Suriah yang memberontak terhadap pemerintahan yang sah.

Pada perundingan Shiffin, pihak Ali bin Abi Thalib diwakili oleh Abu Musa Al-Asy’ari, sementara Mu’awiyah diwakili oleh Amr bin Ash, seorang diplomat yang cerdik dan licik.

Hasilnya adalah kemenangan politik di pihak Mu’awiyah. Kekecewaan mendalam dari hasil tahkim ini memicu sekelompok pendukung Ali, dipimpin oleh Banu Tamim, untuk meninggalkan Bashrah dan bergabung dengan kelompok yang sependapat di Kufah.

Dari konflik dan persoalan politik inilah, muncul doktrin agama dari pemikiran Khawarij, khususnya dari sekte Azariqah yang berpegang pada prinsip dasar “laa hukma illa lillah” (tidak ada hukum kecuali dari Allah), sebagaimana tercantum dalam Al-Qur’an:

وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ فَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْكَٰفِرُونَ

“Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir” (QS. Al-Maidah: 44).

Pandangan teologi Khawarij Azariqah menganggap semua orang yang melakukan dosa besar dan terlibat di dalamnya sebagai penghuni neraka yang abadi. Siapapun yang tidak setuju dengan paham mereka dianggap kafir dan menjadi penghuni neraka (Nourouzzaman Shiddiqi, 1985: 81).

Neo-Khawarij dan Media Online

Pergolakan politik pada masa akhir kekhalifahan Ali bin Abi Thalib yang memunculkan aliran Khawarij kini kembali muncul di ruang media online. Kekecewaan dan frustrasi di bidang politik, mirip dengan situasi yang melahirkan Khawarij, muncul lagi di era digital ini.

Tokoh politik dan pejabat yang pemikirannya berbeda dianggap penuh dosa atau bahkan sebagai pengkhianat bangsa.

Pemikiran Neo-Khawarij di zaman modern sering muncul dalam bentuk video editan, screenshot berita, karikatur, dan flyer dengan narasi negatif seperti “zalim”, “munafik”, “murtad”, dan bahkan “kafir”.

Doktrin-doktrin ini disebarkan secara intensif melalui media sosial seperti WhatsApp, Twitter, Instagram, YouTube, dan TikTok.

Neo-Khawarij cenderung melabeli sesama umat Islam yang berbeda pandangan sebagai kafir, apalagi mereka yang berbeda agama atau kepercayaan. Padahal, perbedaan adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari dalam masyarakat yang majemuk.

Namun, ideologi dan doktrin agama Neo-Khawarij yang disebarkan secara masif melalui media sosial sulit berkembang dan tidak cocok di Indonesia, karena salah satu pilar utama bangsa ini adalah Bhineka Tunggal Ika. (*)

Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini