*) Oleh: Dr. Ajang Kusmana
Ambisi seseorang terhadap hubbur riyasah (cinta kekuasaan) lebih membinasakan daripada ambisi terhadap harta.
Mencari kekuasaan duniawi, kepemimpinan atas manusia, dan kedudukan tinggi di muka bumi lebih berbahaya bagi seorang hamba daripada sekadar mengejar harta.
Kerusakan yang ditimbulkan lebih besar, sementara zuhud dalam hal ini lebih sulit dicapai. Harta bisa saja dikorbankan demi meraih kekuasaan dan kedudukan.
Ambisi terhadap kedudukan melalui kekuasaan dan harta benda sangat berbahaya. Biasanya, hal ini menghalangi seseorang dari kebaikan akhirat dan kemuliaannya. Allah Azza wa Jalla berfirman:
“Negeri akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di muka bumi. Dan kesudahan yang baik itu adalah bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Qashash: 83)
Sangat sedikit orang yang berambisi mendapatkan kepemimpinan di dunia dengan mencari kekuasaan lalu memperoleh taufiq dari Allah Azza wa Jalla.
Sebaliknya, ia sering kali dibiarkan mengurus dirinya sendiri, tanpa bantuan dari Allah. Sebagaimana Nabi Muhammad saw bersabda kepada Abdurrahman bin Samurah:
“Wahai Abdurrahman, janganlah kamu meminta kepemimpinan. Karena jika engkau diberi karena mencarinya, engkau akan dibiarkan mengurusi sendiri (tanpa bantuan Allah). Tetapi jika engkau diberi tanpa mencarinya, maka engkau akan dibantu Allah dalam mengurusinya.” (Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Sebagian ulama mengatakan:
“Tidaklah seseorang berambisi kepada kepemimpinan lalu ia bisa berbuat adil dalam kepemimpinannya.”
Yazid bin Abdullah bin Mauhab, seorang hakim yang adil dan saleh, mengatakan, “Barang siapa yang mencintai harta dan kedudukan serta takut akan musibah, maka ia tidak akan bisa adil.”
Dalam Shahih Al-Bukhari, dari sahabat Abu Hurairah, Nabi bersabda:
“Kalian bakal berambisi terhadap kepemimpinan, dan itu akan menjadi penyesalan di hari kiamat. Senikmat-nikmat kepemimpinan adalah saat seseorang menyusu darinya, dan secelaka-celakanya adalah saat ia melepaskan penyusuannya (mati).”
Ambisi terhadap kedudukan menimbulkan kerusakan besar, baik sebelum mendapatkannya maupun setelahnya. Dalam proses pencarian kekuasaan, banyak orang terjebak dalam tindakan-tindakan seperti kezaliman, kesombongan, dan kerusakan lainnya.
Abu Bakr Al-Ajurri, seorang ulama rabbani pada awal abad ke-4 H, mengingatkan bahwa ulama yang tergoda oleh cinta pujian dan kedudukan akan berhias dengan ilmu sebagaimana mereka berhias dengan pakaian yang indah demi dunia, tetapi tidak menghiasi ilmunya dengan amal.
Ia akan berusaha keras menjadi hakim, bahkan rela mengorbankan agama demi kedudukan, dan akhirnya terjebak dalam permainan kekuasaan, berkompromi dengan kejahatan, dan melayani kepentingan duniawi.
Nabi Muhammad saw mengingatkan:
“Sungguh celaka orang yang ilmunya mewariskan akhlak yang semacam ini. Ilmu yang semacam inilah yang Nabi dahulu berlindung kepada Allah Azza wa Jalla darinya. Beliau juga memerintahkan agar seseorang minta perlindungan darinya.” (HR. Asy-Syihab dalam Musnad-nya)
Dahulu, Nabi berdoa:
“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat, qalbu yang tidak khusyu’, jiwa yang tidak merasa puas, dan doa yang tidak didengar.”
(HR. Muslim)
Naskah ini mengajak kita untuk merenungkan betapa ambisi terhadap kekuasaan bisa membutakan mata hati. Oleh karena itu, sebaiknya kita senantiasa waspada dan menjaga diri dari keinginan yang dapat merusak diri sendiri dan masyarakat. (*)
Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News