Istidraj, Nikmat yang Menjerumuskan ke Kebinasaan
foto: islamonline
UM Surabaya

*) Oleh: Ferry Is Mirza DM

Setiap napas yang kita hirup, setiap langkah yang kita ambil, dan setiap rezeki yang kita nikmati adalah bagian dari rahmat Allah yang tak terhingga. Karena itu, mari kita senantiasa mengucapkan “Alhamdulillahirabbil alamin” sebagai bentuk syukur agar kita terhindar dari jebakan istidraj.

Apa itu Istidraj?

Istidraj adalah pemberian kenikmatan secara berangsur-angsur oleh Allah kepada seseorang yang terus-menerus dalam kemaksiatan.

Kenikmatan ini diberikan agar orang tersebut semakin jauh dari kebenaran dan pada akhirnya terjerumus ke dalam kebinasaan.

Mereka yang diuji dengan istidraj sering kali merasa bahwa segala kenikmatan yang diperoleh adalah tanda kemuliaan dari Allah, padahal sebaliknya, mereka sedang dihina secara perlahan.

Orang yang terjebak dalam istidraj mungkin berpikir bahwa kelimpahan harta, kemewahan, dan kesenangan dunia adalah berkah, meskipun ia tidak taat, jarang beribadah, dan sering melakukan maksiat.

Allah memberikan harta melimpah, rezeki yang tidak terduga, keluarga yang sehat, dan karier yang terus menanjak, namun semua itu adalah bagian dari rencana untuk menyesatkannya.

Allah berfirman dalam Al-Qur’an:

“Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, akan Kami biarkan mereka berangsur-angsur (ke arah kebinasaan), dengan cara yang tidak mereka ketahui. Dan Aku akan memberi tenggang waktu kepada mereka. Sungguh, rencana-Ku sangat teguh.” (QS. Al-A’raf: 182-183)

Makna Istidraj

Kata “istidraj” berasal dari kata “daraja” yang berarti bertahap atau perlahan-lahan. Istilah ini merujuk pada proses di mana seseorang diberi nikmat materi secara terus-menerus, tetapi kenikmatan spiritualnya dicabut tanpa ia sadari.

Dengan cara ini, ia semakin terperosok dalam maksiat tanpa menyadari bahwa dirinya sedang dijauhkan dari rahmat Allah.

Rasulullah shalallahu alayhi wasallam bersabda: “Jika kamu melihat Allah memberikan kemewahan dunia kepada hamba-Nya yang suka melanggar perintah-Nya, maka itulah yang disebut istidraj.” (HR. Ahmad)

Tanda-tanda Istidraj

Seseorang yang terkena istidraj bisa dikenali melalui beberapa ciri, di antaranya:

  1. Kenikmatan dunia semakin bertambah, tetapi keimanan semakin menurun.
  2. Hidupnya dipermudah meski terus bermaksiat.
  3. Rezekinya melimpah, namun ia semakin lalai dalam ibadah.
  4. Semakin kaya, tetapi semakin kikir dan enggan bersedekah.
  5. Jarang sakit, tetapi semakin sombong dan meremehkan orang lain.

Kenikmatan yang diterima orang yang tertimpa istidraj tidak akan membawa keberkahan. Sebaliknya, ia semakin jauh dari jalan yang benar, hingga akhirnya ditimpa azab yang tiba-tiba.

Contoh Istidraj dalam Sejarah

Kisah Fir’aun dan Qarun adalah contoh klasik dari istidraj. Fir’aun diberikan kekuasaan besar oleh Allah, tetapi ia menjadi sombong dan mengaku sebagai tuhan.

Akhirnya, ia dibinasakan dengan ditenggelamkan bersama pasukannya di laut. Qarun, yang awalnya miskin, menjadi kaya raya setelah belajar mengelola emas dari Nabi Musa, tetapi ia lupa akan Allah dan tenggelam bersama hartanya.

Allah Ta’ala berfirman: “Dan janganlah sekali-kali orang-orang kafir menyangka, bahwa pemberian tenggang waktu Kami kepada mereka adalah lebih baik bagi mereka. Sesungguhnya Kami memberi tenggang waktu kepada mereka hanyalah supaya bertambah dosa mereka; dan bagi mereka azab yang menghinakan.” (QS. Ali Imran: 178)

Bahaya Istidraj

Orang-orang yang tertimpa istidraj biasanya mati hatinya. Mereka tidak merasa bersalah ketika meninggalkan ketaatan dan tidak menyesali dosa-dosa yang mereka lakukan. Mereka terlena dengan nikmat yang Allah berikan tanpa menyadari bahwa semuanya hanyalah ujian.

Orang mukmin akan merasa takut jika mendapatkan banyak kenikmatan dunia tetapi keimanannya semakin berkurang. Ini bisa jadi pertanda bahwa ia sedang diuji dengan istidraj.

Di sisi lain, orang yang tidak beriman akan menganggap bahwa segala kenikmatan yang diperoleh adalah haknya dan tanda kesuksesan, tanpa menyadari bahwa ia sedang dijauhkan dari rahmat Allah.

Menghindari Istidraj

Cara paling mudah untuk membedakan apakah kenikmatan yang diterima adalah rahmat atau istidraj adalah dengan melihat ketaatan kita kepada Allah.

Jika kita semakin taat dalam beribadah, maka itu adalah rahmat Allah. Namun, jika kita lalai dalam ibadah, itu bisa jadi istidraj.

Syekh Ibnu Athaillah as-Sakandari berkata: “Takutlah pada kebaikan Allah di tengah-tengah maksiatmu, karena itu bisa jadi istidraj.”

Oleh karena itu, penting bagi kita untuk selalu bersyukur kepada Allah atas segala nikmat yang diberikan, baik secara lisan, perbuatan, maupun keyakinan dalam hati.

Syukur yang tulus akan menjauhkan kita dari istidraj dan mendekatkan kita kepada ridha Allah.

Sebagaimana Umar bin Khattab pernah berdoa: “Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari istidraj, yaitu ditarik secara perlahan-lahan menuju kebinasaan.” (*)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini