Fenomena Karamah dalam Islam: Pandangan Rasional Tasawuf Muhammadiyah
foto: kharchoufa
UM Surabaya

*) Oleh: Kumara Adji Kusuma,
Dosen Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida)

Salah satu fenomena yang menarik perhatian masyarakat sejak zaman dahulu hingga kini, baik di era modern maupun post-modern, adalah fenomena luar biasa yang dikenal sebagai karamah.

Karamah merujuk pada kejadian-kejadian luar biasa yang tidak dapat dijelaskan oleh nalar atau ilmu pengetahuan, sehingga kerap dianggap sebagai keajaiban.

Fenomena ini biasanya diasosiasikan dengan orang-orang yang memiliki hubungan spiritual yang kuat dengan Tuhan.

Ke-luar biasa-an ini dapat berupa kemampuan mengetahui sesuatu sebelum terjadi, menghentikan hujan, menghidupkan makhluk yang telah mati, hingga perlindungan dari bahaya tanpa sebab yang jelas.

Di kalangan masyarakat tradisional, orang-orang dengan kemampuan semacam ini dipandang sebagai sosok suci atau sakti, sementara para ilmuwan modern cenderung menilai fenomena ini sebagai kebetulan yang dapat dijelaskan seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan.

Dalam tulisan ini, penulis akan membahas secara mendalam tentang konsep karamah, terutama dari perspektif tasawuf Muhammadiyah.

Tasawuf Muhammadiyah, sebagai bentuk sufisme yang mendasarkan ajarannya pada rasionalitas dan kemurnian tauhid, memiliki pendekatan yang berbeda terhadap konsep keajaiban spiritual ini.

Karamah dalam Tasawuf

Dalam ajaran Islam, konsep karamah berasal dari akar kata “karama”, yang berarti kehormatan atau kemuliaan. Secara spiritual, karamah mengacu pada kejadian luar biasa yang dianggap sebagai bukti kedekatan seseorang dengan Allah SWT.

Kejadian-kejadian ini dialami oleh orang-orang yang memiliki kedekatan spiritual yang sangat tinggi dengan Tuhan, sering kali dikenal sebagai wali Allah.

Karamah sering kali diidentikkan dengan peristiwa-peristiwa ajaib yang terjadi pada orang-orang saleh, tetapi konsep ini berbeda dengan mukjizat yang diberikan kepada nabi dan rasul sebagai bukti kenabian.

Dalam tasawuf, karamah bukanlah tujuan yang harus dikejar, melainkan sebuah anugerah dari Allah yang diberikan kepada mereka yang benar-benar taat dan tulus dalam beribadah.

Karamah dalam Al-Qur’an dan Hadis

Dalam Al-Qur’an, terdapat beberapa contoh yang sering dikaitkan dengan karamah, seperti kisah Ashabul Kahfi dalam Surah Al-Kahfi ayat 9-26, di mana sekelompok pemuda tidur selama ratusan tahun namun tubuh mereka tetap utuh.

Kisah lain yang dianggap sebagai bentuk karamah adalah kisah Maryam dalam Surah Maryam ayat 25-26, ketika ia diperintahkan oleh Allah untuk menggoyangkan pohon kurma dan memperoleh buahnya meski dalam kondisi lemah.

Hadis-hadis juga mencatat berbagai peristiwa luar biasa yang dialami oleh sahabat dan tabi’in, seperti kisah Uwais Al-Qarni yang dikenal sebagai seorang wali Allah. Rasulullah SAW bahkan menyarankan sahabat-sahabatnya untuk meminta doa dari Uwais.

Karamah dan Tasawuf Muhammadiyah

Dalam konteks Muhammadiyah, organisasi yang dikenal sebagai gerakan tajdid (pembaharuan), karamah tidak dijadikan fokus utama dalam praktik spiritual. Muhammadiyah cenderung berfokus pada prinsip tauhid, amal saleh, dan pemurnian akidah dari unsur-unsur yang dianggap bid’ah, tahayul, dan khurafat (TBK).

Fenomena supranatural seperti karamah, meskipun diakui keberadaannya, tidak dianggap sebagai sesuatu yang patut dikejar atau dijadikan indikator utama keimanan seseorang.

Tasawuf dalam Muhammadiyah lebih menekankan pada akhlak mulia dan kontribusi nyata kepada masyarakat daripada mengejar fenomena supranatural.

Dalam pandangan Muhammadiyah, kebesaran seorang Muslim terletak pada ketaatan kepada Allah dan perannya dalam membangun keadilan sosial, bukan pada kemampuan melakukan keajaiban.

Pendekatan Rasionalitas dalam Tasawuf Muhammadiyah

Pendekatan Muhammadiyah terhadap karamah dan fenomena spiritual lainnya berakar pada keyakinan bahwa hanya Allah yang memiliki kekuasaan penuh.

Karamah adalah anugerah dari Allah, bukan sesuatu yang bisa diperoleh melalui latihan tertentu atau nasab.

Oleh karena itu, Muhammadiyah menghindari pengkultusan individu yang dianggap memiliki karamah, dan menekankan bahwa hanya ketaatan, ilmu, dan amal saleh yang menjadi ukuran seseorang di hadapan Allah.

Dalam Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah (PHIWM), tidak ada pembahasan mendetail mengenai karamah. Muhammadiyah menekankan pemurnian akidah dari berbagai unsur yang dianggap menyimpang dari ajaran Al-Qur’an dan sunah.

Oleh karena itu, karamah tidak dijadikan indikator utama keimanan, tetapi lebih dianggap sebagai bagian dari sejarah Islam yang diakui keberadaannya, namun tidak dijadikan tujuan dalam menjalani kehidupan spiritual.

Kesimpulan

Karamah, dalam pandangan tasawuf Muhammadiyah, adalah bentuk kedekatan spiritual yang dianugerahkan oleh Allah kepada hamba-hamba-Nya yang saleh.

Namun, keajaiban spiritual ini tidak dijadikan fokus utama dalam perjalanan iman seorang Muslim.

Muhammadiyah lebih menekankan pada pemurnian akidah, kontribusi sosial, dan amal saleh sebagai jalan utama menuju kedekatan dengan Allah.

Dalam tradisi Muhammadiyah, karamah diakui sebagai salah satu aspek dalam sejarah Islam. Bamun yang lebih penting adalah bagaimana seseorang menjalani kehidupan dengan penuh ketaatan, keikhlasan, dan kerendahan hati, serta memberi manfaat bagi sesama manusia tanpa mengejar fenomena supranatural. (*)

Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini