Allah (Subhanahu wa Ta’ala) berfirman, memutuskan dan memerintahkan agar tangan pencuri laki-laki dan pencuri perempuan dipotong.
As-Sauri meriwayatkan dari Jabir ibnu Yazid Al-Ju’fi, dari Amir ibnu Syarahil Asy-Sya’bi. bahwa sahabat Ibnu Mas’ud di masa lalu membaca ayat ini dengan bacaan berikut:
“وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْمَانَهُمَا”
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan kanan keduanya.
Tetapi qiraah ini dinilai syazzah (asing), sekalipun hukumnya menurut semua ulama sesuai dengan makna bacaan tersebut: tetapi bukan karena atas dalil bacaan itu, karena sesungguhnya dalil (memotong tangan kanan) diambil dari yang lain.
Dahulu di masa Jahiliah hukum potong tangan ini berlaku, kemudian disetujui oleh Islam dan ditambahkan kepadanya syarat-syarat lain, seperti yang akan kami sebutkan. Perihalnya sama dengan qisamah, diat, qirad, dan lain-lainnya yang syariat datang dengan menyetujuinya sesuai dengan apa adanya disertai dengan beberapa tambahan demi menyempurnakan kemaslahatan.
Menurut suatu pendapat, orang yang mula-mula mengadakan hukum potong tangan pada masa Jahiliah adalah kabilah Quraisy. Mereka memotong tangan seorang lelaki yang dikenal dengan nama Duwaik maula Bani Malih ibnu Amr, dari Khuza’ah, karena mencuri harta perbendaharaan Ka’bah. Menurut pendapat lain, yang mencurinya adalah suatu kaum, kemudian mereka meletakkan hasil curiannya di rumah Duwaik.
Sebagian kalangan ulama fiqih dari mazhab Zahiri mengatakan, “Apabila seseorang mencuri sesuatu, maka tangannya harus dipotong, tanpa memandang apakah yang dicurinya itu sedikit ataupun banyak,” karena berdasarkan kepada keumuman makna yang dikandung oleh firman-Nya: Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (Al-Maidah: 38)
Mereka tidak mempertimbangkan adanya nisab dan tidak pula tempat penyimpanan barang yang dicuri, bahkan mereka hanya memandang dari delik pencuriannya saja.
Ibnu Jarir dan Ibnu Abu Hatim telah meriwayatkan melalui jalur Abdul Mu-min, dari Najdah Al-Hanafi yang mengatakan bahwa ia pernah bertanya kepada Ibnu Abbas mengenai makna firman-Nya: Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (Al-Maidah: 38); Apakah ayat ini mengandung makna khusus atau umum? Ibnu Abbas menjawab, “Ayat ini mengandung makna umum.”
Hal ini barangkali merupakan suatu kebetulan dari Ibnu Abbas yang bersesuaian dengan pendapat mereka (mazhab Zahiri), barangkali pula tidak demikian keadaannya; hanya Allah Yang Maha Mengetahui. Mereka berpegang kepada sebuah hadis yang disebutkan di dalam kitab Sahihain melalui sahabat Abu Hurairah, bahwa Rasulullah (shallallahu ‘alaihi wasallam) telah bersabda:
“لَعَن اللَّهُ السَّارِقَ، يَسْرِقُ الْبَيْضَةَ فَتُقْطَعُ يَدُهُ، وَيَسْرِقُ الْحَبْلَ فَتُقْطَعُ يَدُهُ”.
Semoga Allah melaknat pencuri; yang mencuri telur, maka tangannya dipotong; dan mencuri tali, maka tangannya dipotong.
Jumhur ulama mempertimbangkan adanya nisab dalam kasus pencurian, sekalipun mengenai kadarnya masih diperselisihkan di kalangan mereka.
Masing-masing dari mazhab yang empat mempunyai pendapatnya sendiri.
Menurut Imam Malik ibnu Anas, nisab hukum potong tangan adalah tiga keping uang perak (dirham) murni. Apabila seseorang mencuri sesuatu yang nilainya mencapai tiga dirham atau lebih, maka tangannya harus dipotong. Imam Malik mengatakan, pendapatnya ini berdalilkan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Nafi’, dari Ibnu Umar r.a.:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَطَعَ فِي مِجَن ثَمَنُهُ ثَلَاثَةُ دَرَاهِمَ
Rasulullah (shallallahu ‘alaihi wasallam) melakukan hukum potong tangan dalam kasus pencurian sebuah tameng yang harganya tiga dirham.
Hadis diketengahkan oleh Syaikhain di dalam kitab Sahihain.
Imam Malik mengatakan bahwa Khalifah Usman r.a. pernah menjatuhkan hukum potong tangan terhadap kasus pencurian buah utrujjah (jeruk bali) yang harganya ditaksir tiga dirham. Asar ini —menurut Imam Malik-— merupakan asar yang paling disukainya mengenai hal tersebut.
Asar ini bersumberkan dari Khalifah Usman r.a. yang diriwayatkan oleh Imam Malik, dari Abdullah ibnu Abu Bakar, dari ayahnya, dari Amrah binti Abdur Rahman, bahwa di masa pemerintahan Khalifah Usman pernah ada seseorang mencuri buah utrujjah (jeruk bali). Maka Khalifah Usman memerintahkan agar barang yang dicuri itu ditaksir harganya. Ketika dilakukan penaksiran, ternyata harganya mencapai tiga dirham menurut harga lama, sedangkan menurut harga sekarang sama dengan dua belas dirham. Maka Khalifah Usman memotong tangan pelakunya.
Para pendukung Imam Malik mengatakan bahwa keputusan yang semisal telah terkenal dan tiada yang memprotesnya, permasalahannya sama dengan ijma’ sukuti.
Di dalam asar ini terkandung dalil yang menunjukkan adanya hukum potong tangan terhadap kasus pencurian buah, hal ini berbeda dengan pendapat kalangan mazhab Hanafi. Dan berdasarkan pertimbangan tiga dirham, berbeda pula dengan mereka (mazhab Hanafi), karena mereka menetapkan bahwa nisab-nya harus mencapai sepuluh dirham. Sedangkan menurut pertimbangan mazhab Syafii, jumlah yang harus dicapai adalah seperempat dinar.
Imam Syafii mengatakan bahwa hal yang dijadikan standar dalam menjatuhkan sanksi hukum potong tangan atas pencuri adalah seperempat dinar, atau uang atau barang yang seharga seperempat dinar hingga lebih.
Dalil yang dijadikan pegangan dalam hal ini ialah sebuah hadis yang diketengahkan oleh Syaikhan, yaitu Imam Bukhari dan Imam Muslim, melalui Az-Zuhri, dari Amrah, dari Aisyah r.a., bahwa Rasulullah (shallallahu ‘alaihi wasallam) telah bersabda:
“تُقْطَعُ يَدُ السَّارِقِ فِي رُبْعِ دِينَارٍ فَصَاعِدًا”
Tangan pencuri dipotong karena mencuri seperempat dinar (atau sesuatu yang senilai dengannya atau yang berupa barang yang senilai dengannya) hingga selebihnya.
Menurut riwayat Imam Muslim melalui jalur Abu Bakar ibnu Muhammad ibnu Amr ibnu Hazm, dari Amrah, dari Aisyah r.a. disebutkan bahwa Rasulullah (shallallahu ‘alaihi wasallam) pernah bersabda:
“لَا تُقْطَعُ يَدُ السَّارِقِ إِلَّا فِي رُبْعِ دِينَارٍ فَصَاعِدًا”
Tangan pencuri tidaklah dipotong kecuali karena mencuri seperempat dinar hingga lebih.
Teman-teman kami mengatakan bahwa hadis ini merupakan penyelesaian dalam masalah yang bersangkutan, dan merupakan nas yang menyatakan seperempat dinar sebagai nisab-nya, bukan selainnya.
Mereka mengatakan, hadis yang menyebutkan perihal harga sebuah tameng —yang menurut taksiran seharga tiga dirham— pada kenyataannya tidak bertentangan dengan hadis ini, mengingat saat kejadiannya nilai satu dinar sama dengan dua belas dirham. Jika dikatakan tiga dirham, berarti sama dengan seperempat dinar. Dengan demikian, berarti keduanya dapat digabungkan melalui analisis ini.
Pendapat ini telah diriwayatkan dari Umar ibnul Khattab, Usman ibnu Affan dan Ali ibnu Abi Thalib. Hal yang sama telah dikatakan pula oleh Umar ibnu Abdul Aziz, Al-Lais ibnu Sa’d, Al-Auza’i, Imam Syafii dan semua muridnya, Ishaq ibnu Rahawaih menurut suatu riwayat darinya, dan Daud ibnu Ali Az-Zahiri.