Menghindari Budaya Kerja Transaksional
foto: collegepossible
UM Surabaya

*) Oleh: Muhammad Zakiy,
Dosen Program Studi Ekonomi Syariah UMY

Di dunia kerja, baik di sektor swasta maupun negeri, sering kali kita menemui fenomena di mana pekerja lebih mementingkan aspek transaksional dalam bekerja. Mereka menjalankan tugas bukan karena profesionalisme, melainkan semata-mata demi keuntungan materi atau hubungan kedekatan, yang dikenal dengan istilah nepotisme.

Fenomena ini menciptakan budaya kerja yang tidak sehat, merusak moral, dan menghilangkan esensi kerja profesional yang seharusnya dijunjung tinggi. Sayangnya, fenomena ini terjadi di berbagai tingkatan, mulai dari RT, RW hingga ke pengelolaan negara.

Kerja transaksional di sini merujuk pada sikap di mana seseorang bekerja hanya demi imbalan. Setiap tugas dilihat dari segi untung rugi pribadi, bukan tanggung jawab dan kualitas pekerjaan.

Fenomena ini tak hanya terkait materi, seperti upah atau bonus, tetapi juga mencakup hubungan personal, seperti kedekatan dengan atasan yang memengaruhi promosi.

Akibatnya, pelayanan yang diberikan pun sering kali berbeda tergantung siapa yang dilayani. Bila orang yang dikenal, urusannya bisa dipermudah, sementara yang tidak dikenal, bisa sebaliknya—proses yang seharusnya sederhana malah dipersulit.

Banyak dari kita terjebak dalam pola pikir bahwa bekerja hanyalah alat untuk mendapatkan keuntungan materi.

Padahal, nilai-nilai profesionalisme seharusnya menjadi landasan utama dalam bekerja. Slogan profesionalisme mungkin sering kita dengar, tetapi kenyataannya, banyak organisasi yang hanya menggunakannya sebagai penghias tanpa implementasi nyata.

Orang yang bekerja secara transaksional cenderung memilih tugas yang memberikan keuntungan pribadi terbesar, dan menghindari tanggung jawab yang dianggap tidak menguntungkan.

Fokus mereka lebih kepada siapa yang memberikan tugas, bukan pada kualitas dan tanggung jawab. Akibatnya, produktivitas menurun dan berdampak negatif pada organisasi serta masyarakat yang dilayani.

Dalam Islam, etika kerja memiliki dimensi moral dan spiritual yang jelas. Bekerja bukan hanya sekadar transaksi antara pimpinan dan pekerja, tetapi juga bentuk ibadah.

Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya Allah mencintai seseorang yang ketika bekerja, ia melakukannya dengan itqan (kesungguhan dan profesionalisme)” (HR. Thabrani).

Konsep itqan ini berkaitan erat dengan profesionalisme, di mana seorang Muslim diperintahkan untuk bekerja dengan sebaik-baiknya, bukan semata-mata demi materi, tetapi juga karena memahami bahwa setiap pekerjaan yang dilakukan dengan niat baik adalah bentuk ibadah.

Profesionalisme menempatkan tanggung jawab di atas kepentingan pribadi, mendorong individu untuk memberikan yang terbaik di setiap kesempatan. Setiap pekerjaan harus dijalankan dengan maksimal, tanpa merugikan atasan, rekan kerja, atau masyarakat.

Nepotisme dan hubungan kedekatan sering kali merusak integritas perusahaan atau lembaga. Dalam Islam, praktik semacam ini dilarang karena bertentangan dengan prinsip keadilan.

Rasulullah saw menekankan pentingnya memilih orang yang tepat berdasarkan kapasitas dan kompetensi, bukan kedekatan personal.

Sabda beliau: “Barang siapa yang menyerahkan suatu urusan kepada seseorang padahal dia melihat ada orang lain yang lebih layak untuk itu, maka sungguh dia telah mengkhianati Allah dan Rasul-Nya” (HR. Hakim).

Praktik nepotisme dan ketidakadilan dalam penugasan hanya akan membawa kehancuran, sebagaimana Rasulullah bersabda: “Jika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah kehancurannya” (HR. Bukhari).

Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan upaya kolektif dari individu dan organisasi. Pertama, perusahaan dan lembaga harus menetapkan standar etika kerja yang jelas, termasuk kebijakan antinepotisme dan transparansi dalam penilaian kinerja. Sistem rekrutmen dan promosi harus berbasis meritokrasi, di mana kompetensi menjadi landasan utama.

Kedua, pelatihan dan pengembangan sumber daya manusia harus fokus pada peningkatan profesionalisme, seperti manajemen waktu dan penguatan soft skills. Ketiga, setiap pekerja harus memperkuat niat mereka, menyadari bahwa bekerja adalah ibadah yang membawa manfaat lebih besar.

Dengan menanamkan integritas, disiplin, dan akhlak yang baik, seorang Muslim dapat memberikan kontribusi maksimal, baik di lingkungan kerja maupun masyarakat. (*)

*) Artikel ini tayang di suaramuhammadiyah.id

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini