Kemuliaan Janji dan Kepercayaan
foto: en.islamonweb
UM Surabaya

*) Oleh: Bahrus Surur-Iyunk

Dalam kitab I’laam al-Naas bi ma Waqa’a Lil-Bara’ karya Al-Itlidy (w. 12H), terdapat sebuah kisah menakjubkan yang menggambarkan nilai keadilan, janji, dan kepercayaan.

Suatu hari, Khalifah Umar bin Khattab sedang duduk di bawah pohon kurma di dekat Masjid Nabawi.

Saat itu, datang tiga orang pemuda—dua di antaranya memegangi seorang pemuda lusuh. Dengan nada tegas, mereka berkata, “Tegakkanlah keadilan untuk kami, ya Amirul Mukminin! Qishash-lah pembunuh ayah kami ini sebagai hukuman atas kejahatannya.”

Umar segera bangkit dan bertanya kepada pemuda yang dituduh, “Bertakwalah kepada Allah! Benarkah engkau membunuh ayah mereka, wahai anak muda?” Pemuda itu menundukkan kepala dan menjawab, “Benar, wahai Amirul Mukminin.”

Pemuda tersebut kemudian menjelaskan, “Aku datang dari pedalaman yang jauh. Kaumku mengutusku untuk menyelesaikan suatu urusan di kota ini. Ketika aku tiba, aku mengikat untaku di sebuah pohon kurma, lalu pergi. Ketika kembali, aku melihat seorang laki-laki tua sedang menyembelih untaku. Rupanya, untaku terlepas dan merusak kebun miliknya. Aku marah besar dan tanpa berpikir panjang, aku mencabut pedangku dan membunuh lelaki tua itu. Ternyata, ia adalah ayah dari kedua pemuda ini.”

“Wahai Amirul Mukminin, Anda sudah mendengar pengakuannya. Kami juga bisa mendatangkan saksi. Tegakkanlah had Allah atasnya,” kata salah seorang pemuda itu.

Mendengar pengakuan tersebut, Umar tertegun. “Sesungguhnya, yang kalian tuntut ini adalah seorang pemuda yang saleh. Ia membunuh ayah kalian karena terbawa kemarahan sesaat,” kata Umar.

Umar lalu mencoba menawarkan solusi, “Izinkan aku meminta kalian berdua untuk memaafkannya, dan akulah yang akan membayar diyat (tebusan) atas kematian ayah kalian.”

Namun, kedua pemuda itu menjawab dengan tegas, “Maaf Amirul Mukminin, kami sangat menyayangi ayah kami. Kami tidak akan ridha jika jiwa belum dibalas dengan jiwa.”

Umar semakin bingung dan gelisah. Namun tiba-tiba, pemuda lusuh itu berkata, “Wahai Amirul Mukminin, tegakkanlah hukum Allah. Laksanakanlah qishash atasku. Aku ridha dengan ketentuan Allah.

Namun, izinkanlah aku menyelesaikan dulu urusan kaumku. Berilah aku waktu tiga hari, dan aku akan kembali untuk di-qishash.”

“Mana bisa begitu?” ujar salah satu pemuda penggugat.

“Tak adakah kerabat atau kenalan yang bisa mengurus urusanmu?” tanya Umar.

“Tidak ada, ya Amirul Mukminin. Bagaimana menurut Anda jika aku mati membawa tanggungan pertanggungjawaban kaumku?” Pemuda itu balik bertanya.

Umar memandangnya dengan serius, lalu berkata, “Baik, aku akan memberimu waktu tiga hari. Tapi harus ada yang menjaminmu agar kamu kembali untuk menepati janji.”

“Aku tidak memiliki seorang pun kerabat di sini. Hanya Allah yang bisa menjadi penjaminku,” jawabnya dengan penuh kepasrahan.

Tiba-tiba, dari balik kerumunan, terdengar suara lantang, “Jadikan aku penjaminnya, wahai Amirul Mukminin.” Ternyata suara itu milik Salman al-Farisi.

Umar, yang terkejut, berkata, “Salman, kau belum mengenal pemuda ini. Demi Allah, jangan main-main dengan urusan ini.”

Salman menjawab dengan tenang, “Perkenalanku dengannya sama seperti perkenalanmu dengannya, ya Amirul Mukminin. Dan aku mempercayainya sebagaimana engkau percaya padanya.”

Dengan berat hati, Umar pun mengizinkan pemuda lusuh itu pergi menyelesaikan urusannya. Hari pertama berlalu tanpa tanda-tanda kedatangannya.

Begitu pula hari kedua. Orang-orang mulai bertanya-tanya, apakah pemuda tersebut akan kembali, karena sangat mudah baginya untuk kabur dan menghilang ke negeri yang jauh.

Hari ketiga tiba. Orang-orang semakin meragukan kedatangan pemuda tersebut, dan mulai khawatir dengan nasib Salman, yang telah menjaminnya. Kedua pemuda penggugat tampak kecewa karena si pemuda lusuh tidak juga kembali.

Akhirnya, waktu pen-qishash-an tiba. Salman, dengan tenang dan penuh tawakkal, bersiap menerima hukumannya sebagai penjamin.

Namun tiba-tiba, dari kejauhan, tampak seorang pemuda berlari tersandung-sandung, jatuh bangun, dengan tubuh penuh peluh dan napas terengah-engah. “Itu dia!” seru Umar dengan penuh kegembiraan. “Dia datang menepati janjinya!”

Pemuda itu jatuh tersungkur di hadapan Umar sambil berkata, “Maafkan aku, wahai Amirul Mukminin. Aku tidak menyangka urusan kaumku memakan waktu lebih lama. Kupacu tungganganku tanpa henti hingga ia sekarat di tengah gurun, lalu aku berlari hingga sampai di sini.”

Umar, tersentuh oleh kejujuran pemuda itu, bertanya, “Mengapa kau memilih untuk kembali, padahal kau bisa saja melarikan diri dan menghilang?”

Dengan senyum lemah, pemuda itu menjawab, “Aku kembali agar tidak ada yang mengatakan bahwa di kalangan Muslimin, tak ada lagi ksatria yang menepati janji.”

Umar terharu. Kemudian dia berbalik kepada Salman dan bertanya, “Salman, mengapa engkau bersedia menjaminnya, padahal kau belum mengenalnya?”

Salman menjawab, “Agar jangan sampai dikatakan bahwa di kalangan Muslimin, tak ada lagi orang yang percaya pada saudara sesama Muslim dan bersedia menanggung bebannya.”

Tiba-tiba, kedua pemuda penggugat berkata lantang, “Saksikanlah, wahai kaum Muslimin, bahwa kami telah memaafkan saudara kami ini.”

Umar, yang tak percaya dengan apa yang didengarnya, bertanya, “Mengapa kalian memaafkannya?”

Dengan suara bergetar, kedua pemuda itu menjawab, “Agar jangan sampai dikatakan bahwa di kalangan Muslimin, tak ada lagi yang mampu memaafkan saudaranya.”

Kisah ini, meski tanpa periwayatan yang kuat, mengandung pelajaran besar tentang janji, kepercayaan, dan kemaafan.

Di zaman sekarang, ketika janji dan sumpah sering kali diabaikan, baik dalam politik maupun kehidupan sehari-hari, kita diingatkan betapa mulianya sikap menepati janji, memegang kepercayaan, dan memberi maaf. Na’udzu billah. Wallahu a’lam. (*)

Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini