Akademisi UM Surabaya Soroti Relevansi Merdeka Belajar di Era Prabowo-Gibran
Achmad Hidayatullah. foto: dok/pri
UM Surabaya

Pemerintahan Prabowo-Gibran resmi membagi Kementerian Pendidikan menjadi tiga: Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah, Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi, serta Kementerian Kebudayaan.

Hal ini memunculkan pertanyaan mengenai kelanjutan program “Merdeka Belajar” yang digagas oleh Nadiem Anwar Makarim. Apakah masih relevan untuk dilanjutkan?

Achmad Hidayatullah PhD, pakar pendidikan dari UM Surabaya, menyatakan bahwa Kurikulum Merdeka perlu dievaluasi serius.

Ia menyoroti bahwa meskipun tujuan utamanya adalah memberikan kebebasan bagi guru dan dosen, kenyataannya justru sebaliknya.

Beban administrasi yang menumpuk membuat para pendidik lebih sibuk mengurus hal-hal administratif, terutama terkait dengan kepangkatan, daripada fokus meningkatkan kualitas pembelajaran dan pengembangan siswa.

“Guru dan dosen menjadi seolah-olah merdeka, namun pada kenyataannya mereka lebih sibuk dengan urusan administrasi daripada pengembangan diri dan siswa,” ujar Hidayat.

Selain itu, Hidayat juga mengkritisi masalah akses pendidikan tinggi, khususnya bagi kalangan ekonomi lemah.

Meskipun ada upaya pemerintah melalui program Kartu Indonesia Pintar-Kuliah (KIP-K), biaya pendidikan tinggi yang semakin mahal tetap menjadi penghalang bagi masyarakat miskin untuk mengakses pendidikan yang layak.

“Pendidikan tinggi semakin mahal, dan rakyat tidak benar-benar merdeka untuk mengaksesnya. Perguruan tinggi sekarang beroperasi seperti pasar bebas, bersaing menerima mahasiswa sebanyak-banyaknya dengan biaya mahal, yang justru mengabaikan kualitas pendidikan,” tegasnya.

Hidayat juga menyoroti program beasiswa IISMA yang memungkinkan mahasiswa merasakan pengalaman belajar di luar negeri.

Menurutnya, program ini terlalu singkat, tidak memiliki pola seleksi yang jelas, dan tidak berpihak kepada keadilan sosial, khususnya bagi mereka dari ekonomi lemah.

Biaya yang besar untuk program ini, menurut Hidayat, lebih baik dialihkan untuk memperkuat beasiswa KIP-K atau meningkatkan dukungan bagi mahasiswa yang kuliah di luar negeri.

Lebih lanjut, Hidayat mengungkapkan bahwa walaupun Kurikulum Merdeka bertujuan membentuk karakter siswa yang mandiri, berpikir kritis, dan memiliki motivasi, beban administrasi seperti pengisian e-kinerja melalui platform Merdeka Belajar justru membuat guru tidak memiliki waktu untuk meningkatkan kreativitas mereka.

Dorongan penggunaan platform digital ini juga memperlebar kesenjangan antara sekolah di perkotaan dan di daerah, yang sering kali kekurangan infrastruktur teknologi.

Kata dia, meskipun tujuan kurikulum ini mulia, banyak kebijakan seperti e-kinerja ini membebani guru. Karena aplikasi ini guru semakin sibuk mengisi administrasi dan memburu poin dari pada berpikir substansi pembelajaran.

“Selain itu penggunaan aplikasi ini menciptakan kesenjangan karena sekolah-sekolah di area tertentu tidak memiliki infranstruktur yang memadai,” jelasnya.

Hidayat menegaskan bahwa meskipun “Merdeka Belajar” memiliki niat baik, evaluasi yang mendalam diperlukan agar program ini benar-benar bisa memberikan kebebasan yang nyata bagi semua pihak, bukan sekadar merdeka di atas kertas. (uswah sahal)

Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini