Ironi di Balik Kebijakan Anggaran Pendidikan di Desa
foto: unicef
UM Surabaya

*) Oleh: Wahyudi Nasution,
Pemerhati dan Pegiat Sosial Budaya

Pendidikan merupakan pilar utama dalam membangun masa depan generasi bangsa. Namun, kebijakan anggaran di tingkat desa sering kali menghadirkan ironi yang merugikan.

Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes), alokasi dana untuk sektor pendidikan, terutama bagi lembaga-lembaga yang diselenggarakan secara swadaya oleh masyarakat seperti PAUD, TK, dan TPA, sangat minim atau bahkan diabaikan.

Saat ini, dana desa hanya diperuntukkan bagi lembaga pendidikan yang dimiliki oleh Pemerintah Desa, meskipun pemerintah desa hampir tidak pernah membangun sekolah atau lembaga pendidikan.

Sebaliknya, lembaga-lembaga pendidikan anak usia dini di banyak desa justru dibangun dan dikelola oleh masyarakat dengan modal gotong-royong. Para guru di lembaga ini sering kali bekerja secara sukarela tanpa menerima honorarium yang layak.

Ketimpangan dalam Alokasi Anggaran

Ironi terbesar dalam kebijakan anggaran ini terlihat pada ketimpangan yang mencolok. Sementara alokasi anggaran untuk infrastruktur desa dapat mencapai 70% dari total APBDes, hampir tidak ada alokasi yang jelas untuk pendidikan swadaya masyarakat.

Program-program lain seperti PKK, Posyandu, dan penanganan stunting mendapatkan dukungan dana yang cukup besar, namun pendidikan anak-anak di desa yang dikelola oleh masyarakat secara mandiri tidak memperoleh dukungan yang memadai.

Padahal, pendidikan anak usia dini sangat krusial dalam pembangunan sumber daya manusia di desa.

Masyarakat yang berinisiatif mendirikan lembaga pendidikan untuk anak-anak mereka sendiri seharusnya mendapatkan dukungan penuh dari Pemerintah Desa, mengingat pendidikan adalah investasi jangka panjang yang tak terpisahkan dari pembangunan desa secara keseluruhan.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini