Tuntutan untuk tidak beragama semakin santer seiring dengan membanjirnya pandangan sekularisme, yang mana urusan beragama atau tidak merupakan hak individu.
Oleh karena itu, tidak beragama pun harus dihormati dan dihargai. Terlebih lagi, ketika arus sekularisme menguat, memaksa negara agar bersikap netral dan tidak ikut campur tangan terhadap warga negaranya yang tidak beragama.
Ada pandangan yang menguat bahwa urusan agama merupakan urusan privat yang tidak selayaknya diatur oleh negara.
Dalam negara yang modern, negara tidak memiliki hak untuk memaksakan individu memeluk agama.
Tuntutan untuk menolak beragama bisa jadi disebabkan oleh ketidakpercayaan terhadap institusi agama yang seringkali dipergunakan untuk kekuasaan politik.
Institusi agama, dengan alasan ideologis, historis, dan etis, seringkali dimanfaatkan untuk memperjuangkan kepentingan diri atau kelompok tertentu dengan tujuan terselubung.
Misalnya, beragama untuk mendapatkan popularitas, pujian, jabatan, atau melanggengkan kekuasaan.
Masyarakat Nir-Etika
Ketika tuntutan tidak beragama dikabulkan, akan berimplikasi besar dan luas. Di antaranya, berkembangnya paham ateisme, agnostisisme, atau sekularisme.
Faham ini jelas kontra produktif dengan sila pertama Pancasila yang berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa.” Sila pertama mengakui eksistensi Tuhan dan memberi ruh bagi sila-sila di bawahnya.
Sila Ketuhanan Yang Maha Esa memberikan kepada sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab ruh ketuhanan.
Manusia yang adil dan memiliki adab yang baik tidak mungkin tercapai jika tidak mendasarkan dirinya pada nilai-nilai ketuhanan.
Manusia yang melekat sifat adil akan berperilaku jauh dari sikap semena-mena atau menyusahkan orang lain.
Nilai-nilai keadilan dan keadaban hanya bisa dicapai dengan merujuk pada sumber pembuat keadilan, yakni Tuhan Yang Maha Esa.