Hampir sebulan lalu, media sosial diramaikan dengan berita dan video viral mengenai Dahlan Iskan, akrab disapa Pak DI, yang melakukan ritual membawa patung di sebuah klenteng.
Dalam pidato saat menerima gelar DHC di Pondok Pesantren Al Zaitun milik Pandji Gumilang, Pak DI mengungkapkan bahwa ia menjadi pengurus sebuah agama yang penganutnya tidak melakukan salat karena tidak memiliki tempat ibadah.
Tentu saja, komentar dari ribuan netizen di berbagai platform media sosial seperti WhatsApp, Facebook, dan Instagram pun berdatangan.
Banyak yang mengklaim bahwa Pak DI telah murtad, dan hal ini dikaitkan dengan transplantasi hati yang ia jalani di Tianjin, Cina.
Sebagai penulis yang dianggap dekat dengan Pak DI, saya tidak luput menjadi sasaran pertanyaan dari berbagai kalangan menyusul viralnya video tersebut.
Memang benar, Pak DI memanggil saya dengan sebutan “Anak Lanang.” Saat beliau menjalani operasi ganti hati di Tianjin pada Agustus 2007, saya menemani beliau, serta mengawalnya saat beliau menjabat sebagai Dirut PLN pada 2009-2011 dan sebagai Menteri BUMN pada 2012-2014.
Ketika ditanya tentang video tersebut, saya menjawab kepada semua penanya: “Andai saya tahu siapa yang mengajak Pak DI ritual ke klenteng, pasti saya damprat. Saya juga terkejut dengan pidato beliau di Al Zaitun. Namun, Allah Maha Tahu dan membolak-balikkan hati hamba-Nya. Mari kita doakan agar Pak DI sadar atas sikapnya.”
Alhamdulillah, pada Jumat, 18 Oktober lalu, Pak DI melaksanakan ibadah salat Maghrib di masjid di pusat kota Fuzhou, ibu kota Provinsi Fujian. Dalam tulisan di Dis’way, Pak DI menceritakan:
“Saya minta Alwi yang jadi imam. Namun, Alwi justru memaksa saya untuk menjadi imam. Terjadilah saling paksa,” tulis Pak DI seraya membisiki telinga Alwi, “Anda saja yang jadi imam. Saya baru saja murtad.”
Alwi pun tersenyum, dan Pak DI langsung mengumandangkan iqamah. Alwi Arifin, lulusan Pondok Pesantren Nurul Jadid Paiton Probolinggo, kini menjadi dosen di Universitas Fushou.
Beberapa hari lalu, sepulang dari China, di Sakura Regency, rumah Pak DI di kawasan Ketintang, diadakan salat berjamaah maghrib dan dilanjutkan isya bersama keluarga Pak DI dari Pondok Sabilil Mutaqien di Takeran, Magetan.
Tentu, saat salat di masjid suku Hui di Fuzhou dan di Sakura Regency, ketika tahiyat, Pak DI mengucapkan, “Asyhadu an laa ilaaha illallaahu, wa asyhaduanna muhammadar rasuulullah.”
Semoga dengan melafalkan kalimat syahadat tersebut, Pak DI kembali menjadi seorang Muslim yang tidak murtad lagi. (ferry is mirza)
Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News