Saya pun mendekatinya dan berkata, “Wahai saudaraku, nikmat Allah mana yang engkau syukuri?” Dengan penuh rendah hati, pemilik kemah itu menjawab, “Wahai saudara, diamlah. Demi Allah, jika Allah mendatangkan lautan, pasti akan menenggelamkanku. Atau jika datang gunung berapi, pasti aku akan terbakar. Atau jika langit dijatuhkan kepadaku, pasti akan meremukkan tubuhku. Aku tidak akan mengucapkan kecuali rasa syukur.”
Saya bertanya lagi, “Bersyukur atas apa?” Pemilik kemah itu menjawab dengan tulus, “Tidakkah engkau melihat bahwa Allah telah memberiku lidah yang senantiasa berzikir dan bersyukur? Selain itu, aku memiliki seorang anak yang selalu menuntunku ke masjid saat waktu shalat tiba, bahkan dia yang memberiku makan. Namun, ia belum pulang selama tiga hari. Bisakah engkau mencarinya untukku?”
Saya menyanggupinya dan pergi mencari anaknya. Setelah beberapa saat mencari, saya menemukan jasadnya yang dikelilingi oleh singa. Anaknya telah menjadi korban binatang buas.
Saya bingung bagaimana memberitahu pemilik kemah tentang nasib yang menimpa anaknya. Saya kembali dan berkata kepadanya, “Wahai saudaraku, apakah engkau pernah mendengar kisah Nabi Ayub?” Pemilik kemah itu menjawab, “Ya, aku mengetahuinya.”
Saya melanjutkan, “Allah menguji Nabi Ayub dengan kehilangan harta. Bagaimana dia menghadapi cobaan itu?” Ia menjawab, “Dia tetap sabar.” Saya bertanya lagi, “Allah juga menguji Ayub dengan kefakiran. Bagaimana dia menghadapinya?” Ia menjawab, “Dia tetap sabar.” Saya kembali bertanya, “Ayub juga diuji dengan kematian semua anaknya.
Bagaimana dia menghadapinya?” Ia tetap sabar.” Saya berkata lagi, “Dia juga diuji dengan penyakit pada tubuhnya. Bagaimana dia menghadapinya?” Ia menjawab dengan pertanyaan, “Dia tetap sabar. Sekarang katakan padaku, di mana anakku?”
Lalu, saya berkata dengan hati bergetar, “Putramu telah kutemukan di antara gundukan pasir, tubuhnya telah dimangsa binatang buas. Semoga Allah melipatgandakan pahala bagimu dan memberimu kesabaran.”
Kemudian, pemilik kemah ini berkata, “Alhamdulillah, semoga Allah tidak menurunkan keturunan yang durhaka kepada-Nya sehingga anakku tidak akan dihukum di Neraka.” Setelah menghela nafas panjang, ia menghembuskan nafas terakhirnya. Saya meletakkannya di pangkuanku, bingung dengan apa yang harus dilakukan. Saya merasa sendirian dan tak tahu bagaimana mengurus jenazahnya.
Tiba-tiba, melintaslah empat orang lelaki berkuda. Mereka bertanya, “Wahai saudara, apa yang terjadi padamu?” Saya menceritakan pengalaman saya dan meminta bantuan mereka untuk mengurus jenazah sang lelaki. Mereka bertanya, “Siapa dia?”
Ketika saya membuka penutup wajahnya, mereka terkejut, menciuminya, dan menangis. Mereka berkata, “Maha suci Allah! Ini adalah wajah yang selalu sujud kepada Allah. Mata yang selalu menundukkan pandangan dari yang diharamkan oleh Allah. Tubuhnya selalu bersujud saat orang lain tidur.”
Saya bertanya, “Apakah kalian mengenalnya?” Mereka menjawab, “Tidakkah engkau mengenalnya?”
Saya menjelaskan bahwa saya tidak tahu siapa lelaki itu. Mereka berkata, “Ini adalah Abu Qilabah, sahabat Ibnu Abbas. Dia adalah orang yang ditawari jabatan hakim oleh khalifah, tetapi dia menolaknya.”
Jabatan hakim atau qadhi pada masa itu adalah jabatan yang mulia, di mana orang yang mendudukinya akan menegakkan hukum dan memberikan keputusan dalam perselisihan manusia. Namun, Abu Qilabah menolaknya dan memilih untuk tinggal di wilayah Mesir hingga ajal menjemputnya dalam keadaan seperti ini. Kemudian, Abdullah bin Muhammad dan keempat lelaki itu memandikan, mengkafani, dan menshalatkannya sebelum akhirnya menguburkannya.
Malam harinya, saya tertidur lalu bermimpi, Abu Qilabah berada di taman surga dalam keadaan memakai dua lembar kain dari kain surga sambil membaca firman Allah dalam Q.S. ar-Ra’d ayat 24: سَلامٌ عَلَيْكُمْ بِمَا صَبَرْتُمْ فَنِعْمَ عُقْبَى الدَّارِ “Keselamatan bagi kalian (dengan masuk ke dalam surga) karena kesabaran kalian, maka alangkah baiknya tempat setelah itu”.
Saya bertanya kepadanya,” Bukankah engkau orang yang aku temui?” Abu Qilabah menjawab, “Benar.”
Saya bertanya, “Bagaimana engkau dapat memperoleh ini semua?” Abu Qilabah menjawab, “Sesungguhnya Allah menyiapkan derajat kemuliaan yang tinggi, yang tak dapat dicapai, kecuali dengan sikap sabar ketika dikasih cobaan, dan rasa syukur jika dalam situasi lapang, dan tentram bersama dengan rasa takut kepada Allah, baik dalam kondisi sendirian atau di depan banyak orang”.
Selanjutnya, dapatkan penjelasan secara online melalui akun YouTube:
https://www.youtube.com/@imronnurannas8240
Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News