Kesiapan Mental Dalam Pernikahan
Menurut WHO (World Health Organization, 2013), kesehatan mental merupakan keadaan yang disadari oleh individu yang didalamnya dapat mampu mengelola stres dan dapat mengatasi tekanan kehidupan.
Ketika Kesehatan mental terganggu akan membuat kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan menjadi sulit. Dampak pernikahan dini bagi kesehatan mental menjadi penting untuk diperhatikan oleh karena kondisi ini sangat identik dengan permasalahan rumah tangga yang muncul akibat belum adanya kematangan secara fisik (Mangande & Lahade, 2021).
Agar setiap individu memiliki persiapan mental dan fisik atau material dalam memiliki jenjang pernikahan dan agar keluarga memiliki persiapan daya tahan yang kuat dalam menghadapi goncangan-goncangan dari pengaruh internal maupun eksternal, maka perlu adanya unsur kedewasaan di dalamnya, menurut psikologis kedewasaan yang dimaksud adalah kedewasaan berfikir untuk mengambil keputusan secara benar, mengontrol emosi ketika ada permasalahan, dan menentukan sikap dalam bertindak ketika ada permasalahan dalam berumah tangga (Sundani, 2018).
Kesiapan Mental ditinjau Dari Aspek Psikologis
Pernikahan di usia dini dapat memberikan dampak cukup besar terhadap kondisi psikologis atau kejiwaan sang anak. Pada usia 19 tahun adalah fase transisi perkembangan anak, di mana masa remaja lambat laun akan beralih menuju masa dewasa.
Di usia ini anak cenderung susah mengontrol keadaan emosinya dikarenakan mentalnya belum mencapai kematengan sehingga berdampak pada emosional yang membuat keadaan jiwa anak tidak stabil atau cenderung labil (Nurfauziah, 2020).
Kesiapan mental sebelum menikah termasuk hal yang sangat penting, sebab dalam pernikahan kita dituntut untuk menyesuaikan diri dengan segala keadaan, baik itu senang maupun susah.
Kesiapan mental juga mempengaruhi pemikiran dalam menyelesaikan permasalahan yang nantinya pasti terjadi dalam sebuah keluarga. Jika ditinjau dari aspek psikologis, tak jarang pernikahan dini memicu konflik dalam rumah tangga. Ini dikarenakan kepribadian dan emosional para pelaku yang belum matang sempurna, sehingga cenderung mudah tersulut api pertengkaran. Beberapa risiko pernikahan dini terhadap aspek psikologis di antaranya adalah kepribadian pelaku yang tidak terbuka atau cenderung tertutup, psikisnya seringkali mudah tertekan sehingga ia sulit mengambil keputusan, dan rawan terkena stress maupun depresi. Hal tersebut dikarenakan kondisi emosional yang belum stabil, sehingga pelaku pernikahan dini cenderung labil (Fadlyana & Larasaty, 2016).
Pada dasarnya emosi manusia bisa dibagi menjadi dua kategori umum jika dilihat dari dampak yang ditimbulkan. Kategori pertama adalah emosi positif yang memberikan dampak menyenangkan dan menenangkan, seperti tenang, santai, rileks, gembira, lucu, haru, dan senang. Kategori kedua adalah emosi negatif yang memberikan dampak tidak menyenangkan dan menyusahkan, seperti sedih, kecewa, putus asa, depresi, tidak berdaya, frustasi, marah, dan dendam (Nurfauziah, 2020).