Telaah Hukum Batasan Pernikahan Dalam Al-Qur’an
Dalil yang digunakan oleh Ulama’ fikih dalam mendefinisikan dan menentukan batas minimal usia seseorang yang akan menikah adalah firman Allah dalam Q.S. an-Nisa ayat 6:
وَابْتَلُوا الْيَتٰمٰى حَتّٰىٓ اِذَا بَلَغُوا النِّكَاحَۚ فَاِنْ اٰنَسْتُمْ مِّنْهُمْ رُشْدًا فَادْفَعُوْٓا اِلَيْهِمْ اَمْوَالَهُمْۚ وَلَا تَأْكُلُوْهَآ اِسْرَافًا وَّبِدَارًا اَنْ يَّكْبَرُوْاۗ وَمَنْ كَانَ غَنِيًّا فَلْيَسْتَعْفِفْۚ وَمَنْ كَانَ فَقِيْرًا فَلْيَأْكُلْ بِالْمَعْرُوْفِۗ فَاِذَا دَفَعْتُمْ اِلَيْهِمْ اَمْوَالَهُمْ فَاَشْهِدُوْا عَلَيْهِمْۗ وَكَفٰى بِاللّٰهِ حَسِيْبًا ٦
“Ujilah anak-anak yatim itu (dalam hal mengatur harta) sampai ketika mereka cukup umur untuk menikah. Lalu, jika menurut penilaianmu mereka telah pandai (mengatur harta), serahkanlah kepada mereka hartanya. Janganlah kamu memakannya (harta anak yatim) melebihi batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (menghabiskannya) sebelum mereka dewasa. Siapa saja (di antara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah dia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan siapa saja yang fakir, maka bolehlah dia makan harta itu menurut cara yang baik. Kemudian, apabila kamu menyerahkan harta itu kepada mereka, hendaklah kamu adakan saksi-saksi. Cukuplah Allah sebagai pengawas”.
Teks ayat ini menjelaskan tentang pengelolaan harta anak yatim oleh seorang wali, tentang batas umur dan kemampuan intelektual dalam melihat untuk membedakan suatu hak dan batil dalam berbagai persoalan, para Ulama’ berbeda pendapat.
Pertama, al-Qurtubi dalam tafsir al-Qurtubi terlebih dahulu orang yangmendapat wasiat terlebih dahulu memberikan pembelajaran atau mendidikan kepada anak yatim tersebut untuk mendapatkan ilmu pengetahuan dan keahlian serta kemampuan untuk mengatur kehidupan dirinya dengan keluasan ilmunya.
Dengan pendidikan dan kedewasaan cara berfikir diharapkan bisa membelanjakan harta yang dia punya. Kedewasaan menurutnya juga bukan sebatas kecerdasan intelektual semata, tetapi juga kedewasaan dalam hal umur.
Al-Qurtubi mengambil pendapat dari Imam Hanbal yaitu berumur 15 tahun sudah dewasa, disebabkan karena sudah baligh, walaupun belum bermimpi. Sedangkan Ulama’ madinah merujuk pada pendapat Abu Hanifah bahwa umur baligh yaitu 19 tahun ini adalah untuk seorang laki-laki sedangkan untuk seorang gadist berumur 17 tahun.
Kedua, Wahbah az-Zuhaili dalam tafsir munir menjelaskan senada dengan pendapat al-qurtubi yaitu pentingnya “rusdun” atau kecerdasan seorang anak untuk menunjukan salah satu ciri dari kedewasaan. Sebab dengan kecerdasan tersebut, mereka bisa mengelola harta kekayaan, menjaga dan menggunakan dengan cara yang benar.
Walapun demikian, berkaitan dengan umur, Wahbah az-Zuhaili mengikuti pendapat dari imam syafii tentang batas usia baligh berumur 15 tahun. Wahbah az-Zuhaili juga mengambil pendapat dari abu hanifah yang memberikan toleransi umur cukup longgar, yaitu 25 tahun baru bisa diberikan harta kekayaan anak yatim tersebut. namun ada tambahan tentang tidak ada persyaratan “rusydun” pada dirinya. Artinya apakah dia sudah mempunyai kemampuan atau belum berkaitan dengan kecerdasan dalam menggunakan harta kekayaan tidak menjadi suatu persoalan.
Ketiga; Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah menjelaskan bahwa jika seorang anak yatim sudah mencapai tingkat kedewasaan tertentu, yang dengan itu dia bisa mengelola hartanya dengan baik, maka seorang wali harus memberikah hak kelola harta tersebut kepada si anak yatim.
Teks ayat pada Q.S. an-Nisa ayat 6 memang menunjukkan bahwa objek dari ayat ini adalah anak yatim. Namun, ayat sebelumnya menjelaskan tentang hak wali kepada anak yatim adalah untuk menikahkannya ketika sudah mencapai usia yang cukup. Dalam hal ini, Al-Qur’an menggunakan kata ruysd.