Dengan berbagai fitur yang dimiliki akal tersebut, maka akal menjadi pelengkap atas indera yang terbatas dalam mencerap realitas. Sebagian orang ada yang meyakini dan hanya menerima indera sebagai sumber kebenaran; di luar apa yang ditangkap indera adalah tidak ada.
Mereka tergolong dalam kelompok berpaham empirisme. Sedangkan mereka yang meyakini akal sebagai sumber kebenaran, mengelompok dalam paham rasionalisme: yang irasional adalah tidak benar. Dan ada juga yang menerima keduanya.
Namun, dalam konteks ini, Islam memiliki pandangannya sendiri. Dalam Islam, antara indera dan akal memiliki fungsi masing-masing yang keduanya tidak bisa dipisahkan bahkan diperhadap-hadapkan karena keduanya saling melengkapi. Namun tidak hanya berhenti di sini, masih ada kelanjutannya.
Dalam perspektif Islam, ada banyak objek di dunia ini yang tidak dapat diindera oleh manusia, seperti jin, malaikat, dan yang utama adalah melihat Allah, sang Pencipta. Ada kejadian di mana melihat matahari saja manusia tidak mampu, apalagi melihat Penciptanya.
Boleh jadi ketidakmampuan itu adalah karena ujian bagi manusia, karenanya diciptakanlah indera dengan keterbatasannya. Kemudian dilengkapi dengan akal untuk bisa mendapatkan sesuatu di balik itu semua. Akal manusia didesain tentunya agar manusia mampu “melihat” yang tak terlihat dan menjadikannya sebagai hikmah yang menjadikannya lebih bijaksana untuk bisa melihat akhirat sebagai tujuan akhir kehidupan.
Dalam Al-Quran terdapat ayat yang menceritakan keinginan Nabi Musa untuk melihat Allah, namun Allah menunjukkan bahwa manusia tidak mampu melihat-Nya. Ayat ini terdapat dalam Surah Al-A’raf, ayat 143. Maka ketika Allah menampakkan diri kepada gunung, kemudian gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata, “Mahasuci Engkau, aku bertobat kepada Engkau dan aku orang yang pertama-tama beriman.”
Demikian juga halnya dengan umat Nabi Musa yang syaratkan untuk bisa melihat Allah agar beriman. Surah Al-Baqarah ayat 55. Ayat ini mengisahkan kaum Bani Israil yang berkata kepada Nabi Musa bahwa mereka tidak akan beriman kepadanya sampai mereka dapat melihat Allah dengan jelas. Ayat ini menunjukkan sikap keras kepala dan kurangnya keimanan sebagian dari kaum Bani Israil.
Mereka menuntut bukti berupa melihat Allah secara langsung, yang menunjukkan keraguan mereka terhadap kenabian Musa. Sebagai akibat dari ketidakpercayaan tersebut, mereka ditimpa azab berupa sambaran petir sebagai peringatan dari Allah. Mereka adalah kaum penganut paham empirisme ketika segala sesuatu harus dapat diindera. Namun Allah mengingatkan bahwa dunia sangat terbatas untuk bisa menerima eksistensi Allah yang Mahabesar dibandingkan dengan eksistensi ciptaan-Nya.
Dalam Al-Qur’an, banyak ayat yang mendorong manusia untuk menggunakan akal (misalnya, dalam QS Yunus: 100, Al-Ankabut: 43). Akal dianggap sebagai sarana bagi manusia untuk memahami kebesaran Allah dan beriman kepada-Nya. Akal dianggap sebagai salah satu anugerah terbesar yang Allah, sebagai pencipta segala sesuatu, anugerahkan kepada manusia.
Di sinilah letak krusial antara Islam dengan kaum ateis yang meyakini kebenaran empirisme dan atau rasionalisme secara mutlak, bahkan dijadikan sebagai sumber pengetahuan. Keyakinan ini membatasi “dunia” ateis hanya pada ranah duniawi. Islam mengarahkan manusia bahwa indera dan akal hanya berfungsi sebagai sarana, bukan tujuan ataupun sumber dari kebenaran.