Meski akal memiliki kemampuan besar, dalam Islam diyakini bahwa akal memiliki keterbatasan dan memerlukan wahyu untuk mencapai pemahaman yang benar tentang hal-hal ghaib atau yang metafisik. Dalam hal ini, di dalam Al-Quran surat Al-Alaq disebutkan bahwa Indera dan akal manusia menjadi mekanisme untuk melakukan “Iqra” yakni pembacaan atau observasi atas realitas dan juga melakukan analisis darinya yang kemudian digunakan untuk menyingkap, mengungkap tabir dari Realitas sebenarnya, yakni Allah SWT.
Karena segala sesuatu yang ada di dunia ini sangat tergantung eksistensinya kepada Allah SWT. Iqra ini juga selanjutnya digunakan oleh orang beriman untuk memahami ajaran agama, mengenal tanda-tanda kebesaran Allah di alam semesta, dan membedakan kebaikan dari keburukan.
Salah satu aspek yang kemudian ditekankan oleh Islam adalah kaitannya dengan Hati (Qalbu). Dalam Islam, akal sering kali tidak dianggap sebagai sesuatu yang terpisah dari hati atau qalb. Qalbu inilah yang menjadi sarana spritualitas Islam. Banyak ayat dalam Al-Qur’an menyebutkan fungsi hati yang “memahami” (lihat QS Al-Hajj: 46), yang menunjukkan bahwa akal dan hati memiliki hubungan erat dalam memahami dan menerima kebenaran yang sejati, Allah SWT.
Penggunaan akal untuk merenungkan alam semesta, hukum-hukum Allah, dan ajaran Islam dianggap sebagai bentuk ibadah. Al-Qur’an secara berulang-ulang mendorong manusia untuk berpikir dan merenung sebagai sarana untuk memahami kebesaran Allah (lihat QS Yunus: 100 dan Al-Baqarah: 164).
Dalam Islam, indera dan akal adalah alat yang memungkinkan manusia untuk menjalani kehidupan yang bermakna dengan pengetahuan, termasuk sains; memperdalam iman, dan mengarahkan kehidupan sesuai dengan kehendak Allah. Manfaat akal sangat beragam, mulai dari mengenal Allah hingga membantu menjalankan peran sebagai khalifah di bumi.
Namun, Islam juga mengajarkan bahwa akal memiliki keterbatasan, dan untuk mencapai kebenaran sejati, akal harus dipandu oleh qalbu yang menerima wahyu dari Allah melalui RasulNya.
Indera dan akal bisa menjadi sarana untuk menyingkap tabir yang menutupi realitas sejati, Allah SWT. Tabir ini terbentuk karena keterbatasan indera manusia untuk mangaksesnya. Melalui akal manusia bisa mencapai Adanya Eksistensi yang Mutlak. Lantas, dengan qalbu maka hamba dan Khaliq berkomunikasi melalui petunjuk logis yang bisa diakses oleh akal, dan firasat atau ilham melalui qalbunya. Qalbu ini diasah dengan senantiasa mengingat diriNya seperti yang diajarkanNya melalui RasulNya.
Wallahu’alam bi shawab. (*)
Referensi:
Briscoe, A. D., & Chittka, L. (2001). “The evolution of color vision in insects.” Annual Review of Entomology, 46(1), 471-510.
Foucault, M. (1973). The Birth of the Clinic: An Archaeology of Medical Perception. New York: Pantheon Books.
Gutting, G. (2019). What Philosophy Can Do. W.W. Norton & Company.
Hossenfelder, S. (2021). Lost in Math: How Beauty Leads Physics Astray. Basic Books.
Kant, I. (1781). Critique of Pure Reason.
Masterton, B., Heffner, H., & Ravizza, R. (1969). “The evolution of human hearing.” The Journal of the Acoustical Society of America, 45(4), 966-985.
Neitz, J., Geist, T., & Jacobs, G. H. (1989). “Color vision in the dog.” Visual Neuroscience, 3(2), 119-125.
Resnick, B. (2018). “The sound that human ears can’t hear.” Vox.
Rigby, J., Perrin, M., McElwain, M., et al. (2022). “The James Webb Space Telescope.” Nature Astronomy, 6, 1325–1344.
Stevens, M. (2013). Sensory Ecology, Behaviour, and Evolution. Oxford University Press.
Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News