*)Oleh: Muhammad Roissudin, M.Pd
Mahasiswa Program Doktoral Studi Filantropi Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Kemiskinan merupakan masalah krusial yang dihadapi berbagai negara berkembang, termasuk Indonesia. Masalah ini sudah berlangsung lama dan terus menjadi tantangan besar. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) per Maret 2023, sekitar 25,9 juta orang Indonesia hidup dalam kondisi kemiskinan dengan berbagai kategori.
Sebagai respons, pemerintah Indonesia telah berupaya menanggulangi kemiskinan melalui program-program bantuan sosial, pendidikan, kesehatan, serta bantuan langsung tunai (BLT) yang terus digalakkan. Meski demikian, meski angka kemiskinan mengalami penurunan, hingga akhir masa jabatan Presiden Jokowi, angka kemiskinan Indonesia tetap berada pada kisaran 7-11,79% (Humas Kemenkeuangan, Maret 2023).
Di sisi lain, potensi zakat sebagai instrumen filantropi Islam memiliki peluang besar untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Menurut data Kemenag RI tahun 2023, potensi zakat di Indonesia diperkirakan mencapai 400 triliun rupiah, namun yang berhasil terkumpul baru sekitar 40 triliun rupiah yang dikelola oleh lembaga zakat, baik Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) maupun Lembaga Amil Zakat (LAZ).
Pada 2023, BAZNAS mencatatkan bahwa dana zakat yang berhasil dihimpun telah mengentaskan kemiskinan sebanyak 574.903 jiwa melalui berbagai program pemberdayaan di bidang pendidikan, kesehatan, papan, pangan, dan ekonomi kreatif.
Meski demikian, filantropi Islam melalui zakat, infaq, sedekah, dan wakaf belum menjadi sektor prioritas yang dilirik oleh pemerintah sebagai instrumen utama dalam pemberantasan kemiskinan. Terbaru, langkah berani Presiden Prabowo menghapus utang UMKM yang terlilit hutang mendapatkan apresiasi positif dari publik (Detik.com, 06 Nov 2024). Namun, masih banyak upaya yang perlu dilakukan untuk menekan angka kemiskinan, khususnya bagi masyarakat dengan pendapatan di kisaran Rp350.000 hingga Rp550.000 per kapita.
Potensi Zakat dalam Pemberdayaan Ekonomi
Zakat dalam perspektif fiqh adalah kewajiban agama yang diberikan umat Muslim kepada mereka yang membutuhkan. Menurut Imam Al-Ghazali, zakat tidak hanya merupakan kewajiban, tetapi juga cara untuk membersihkan harta dan jiwa seseorang dengan mendistribusikan sebagian kekayaannya kepada orang yang kurang beruntung.
Dalam padanan kata ekonomi Islam, zakat lebih dekat dengan konsep filantropi Islam, yaitu amal yang lebih luas, mencakup sedekah, infaq, dan wakaf untuk kebaikan ekonomi dan pemberdayaan masyarakat.
Sebagai salah satu rukun Islam, zakat tidak hanya sekadar kewajiban ibadah, tetapi juga berfungsi sebagai instrumen untuk mengurangi ketimpangan sosial dan ekonomi. Dengan mendistribusikan kekayaan dari golongan mampu kepada golongan yang kurang beruntung, zakat dapat berperan dalam menurunkan tingkat kemiskinan.
Selain itu, zakat yang dikelola dengan baik dapat digunakan untuk pemberdayaan ekonomi masyarakat miskin melalui penyediaan modal usaha, pelatihan keterampilan, dan pendidikan yang berkelanjutan. Hal ini berpotensi membuka peluang bagi mereka untuk memperbaiki kondisi ekonomi mereka secara mandiri.
Penelitian yang dilakukan oleh Eman Ahmed Hashem dan Shaima El Sha’et pada 2020 dalam Journal of Economics and Social Studies menunjukkan bahwa zakat yang dikelola secara transparan dapat memperkuat inklusi keuangan, memberikan akses modal, serta layanan keuangan bagi masyarakat miskin yang selama ini terpinggirkan dari lembaga keuangan formal.
Penelitian Yusuf Jelili Amuda (2021) juga menambahkan bahwa zakat yang dipadukan dengan waqf dapat mempercepat pemberdayaan masyarakat melalui pendanaan pendidikan dan kesehatan yang lebih berkelanjutan.
Peran Pemerintah, Lembaga Zakat, Ulama, dan Milenial
Peran Pemerintah
Sejak zaman Rasulullah Muhammad SAW dan dilanjutkan oleh Khalifah Abu Bakar, zakat memiliki peran yang signifikan dalam membangun solidaritas sosial di kalangan umat Islam. Abu Bakar menegaskan bahwa membayar zakat adalah kewajiban yang harus dipenuhi, dan beliau tidak segan mengambil tindakan tegas terhadap siapa pun yang menolaknya. Pada masa Khalifah Umar bin Khattab, sistem pengelolaan zakat diperkuat dengan kebijakan yang lebih terstruktur dan efisien. Umar memperkenalkan pendirian badan zakat di setiap wilayah yang dikelola dengan transparansi dan akuntabilitas.
Berdasarkan sejarah tersebut, peran pemerintah dalam pengelolaan zakat sangat penting untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mengurangi angka kemiskinan. Salah satu langkah yang dapat dilakukan adalah memperkuat sistem kelembagaan zakat dan wakaf melalui pembentukan badan atau kementerian khusus. Beberapa negara Islam, seperti Qatar dan Arab Saudi, telah berhasil mengelola zakat dan wakaf dengan memperkuat kelembagaan dan pengawasan yang transparan.
Peran Lembaga Zakat
BAZNAS sebagai lembaga pemerintah non-struktural yang berperan dalam pengelolaan zakat di Indonesia, telah melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan literasi zakat dan mendukung program pemberdayaan masyarakat. Program-program unggulan BAZNAS, seperti beasiswa pendidikan, pemberdayaan ekonomi, dan kesehatan, telah berhasil menyentuh masyarakat hingga ke level grassroot. Salah satu program unggulannya adalah pemberian beasiswa pendidikan mulai dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi.
Terbaru, BAZNAS juga membuka program beasiswa Doktoral di bidang filantropi Islam untuk mencetak generasi yang memahami teori zakat dan dapat menjadi agen perubahan dalam pengentasan kemiskinan.
Peran Ulama
Peran ulama sangat penting dalam pengentasan kemiskinan melalui zakat. Ulama tidak hanya sebagai pemimpin spiritual, tetapi juga sebagai teladan dalam berzakat. Sebagaimana disampaikan oleh Prof. Ali Maschan Moesa, Ketua BAZNAS Jawa Timur, ulama diharapkan dapat menjadi panutan dalam hal memberikan zakat dan beramal sosial. Melalui mimbar khutbah, forum kajian, dan lingkungan masyarakat, ulama dapat menyebarkan kesadaran mengenai pentingnya zakat sebagai alat pemberdayaan ekonomi di kalangan umat.
Peran Milenial sebagai Penggerak
Milenial memiliki potensi besar sebagai agen perubahan dalam literasi zakat. Mereka tidak hanya bisa menjadi donatur, tetapi juga dapat memimpin gerakan perubahan di masyarakat. Dengan kepedulian sosial dan kreativitas mereka, milenial dapat menciptakan inovasi yang berdampak positif, yang pada gilirannya dapat meningkatkan kesadaran dan pemahaman tentang zakat di kalangan generasi muda.
Berdasarkan data dari KPU pada Pemilu 2019, jumlah pemilih milenial mencapai sekitar 70-80 juta orang dari total 193 juta pemilih. Jika sepersepuluh dari mereka merupakan Muslim dengan penghasilan yang memenuhi nisab zakat, zakat yang terhimpun bisa mencapai angka yang signifikan. Jika 8 juta milenial dengan penghasilan mencapai nisab zakat menyumbang zakat profesi, maka zakat yang terkumpul dapat mencapai sekitar Rp 10,08 triliun per tahun. Dengan memanfaatkan potensi ini, zakat dapat menjadi salah satu solusi utama dalam pemberantasan kemiskinan.
Untuk memaksimalkan kontribusi zakat dalam pengentasan kemiskinan, diperlukan langkah strategis yang melibatkan kolaborasi antara pemerintah, lembaga zakat, ulama, dan masyarakat. Sinergi antara zakat dan waqf, serta pemberdayaan ekonomi melalui pendidikan dan pelatihan keterampilan, dapat membuka peluang bagi masyarakat miskin untuk mandiri secara ekonomi. Dengan pengelolaan yang transparan dan akuntabel, zakat dapat menjadi solusi utama dalam menanggulangi kemiskinan di Indonesia. (*)
Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News