*)Oleh: Muhamad Roissudin
Wakil Ketua I BAZNAS Kabupaten Nganjuk
Dalam dua dekade terakhir, praktik perjudian berbasis online (dikenal dengan istilah Judol) tidak hanya didominasi oleh kalangan menengah ke atas, tetapi kini merambah ke semua lapisan masyarakat, termasuk kalangan proletar dan kelas ekonomi bawah. Fenomena ini semakin meluas dan menembus batasan sosial yang sebelumnya tidak terbayangkan.
Pasca kasus besar perjudian online yang melibatkan nama Sambo dua tahun lalu, meski yang bersangkutan membantah keterlibatannya, praktik terlarang ini tetap terus berkembang. Data dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menunjukkan bahwa perputaran uang yang terkait dengan judi online pada semester II tahun 2024 mencapai Rp 283 triliun, meningkat signifikan dibandingkan dengan Rp 174 triliun pada semester I tahun yang sama.
Peningkatan tersebut menunjukkan bahwa judi online kini tidak hanya menjadi masalah ekonomi, tetapi juga berpotensi menjadi masalah sosial dan psikologis. Masyarakat dari berbagai usia, termasuk anak-anak di bawah 10 tahun, semakin rentan terjerumus dalam praktik perjudian ini.
Dampak yang ditimbulkan oleh fenomena ini sangat besar. Baru-baru ini, Presiden Prabowo Subianto memberikan instruksi tegas kepada Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) untuk membabat habis para “beking” judi online. Instruksi ini menyusul penangkapan 11 Aparatur Sipil Negara (ASN) yang terlibat dalam perjudian online.
Hal ini tentu menjadi perhatian serius berbagai kalangan, baik agamawan maupun kelompok sosial lainnya, karena dampaknya terhadap menurunnya relasi sosial dan nilai filantropi (kedermawanan).
Praktik judi online kini tidak hanya melibatkan orang dewasa atau kalangan berpenghasilan tinggi. Anak-anak di bawah usia 10 tahun pun tidak luput dari pengaruhnya. Kepala PPATK, Ivan Yustiavandana, dalam rapat kerja bersama Komisi III DPR RI pada 5 November 2024, mengungkapkan bahwa perjudian online semakin meluas, baik dari segi usia pemain maupun frekuensi transaksi yang terjadi.
Jika dahulu judi online melibatkan uang dalam jumlah besar, saat ini dengan nominal kecil seperti Rp 10.000 pun seseorang sudah dapat terlibat dalam aktivitas ini. Masyarakat dengan penghasilan rendah pun terjebak, menghabiskan sebagian besar pendapatannya, bahkan hingga 90%, untuk berjudi.
Penelitian yang dilakukan oleh Ahmad Zoruhman dkk. di sebuah komunitas warnet di Kota Semarang menunjukkan bahwa kecanduan judi online dapat menyebabkan penurunan rasa empati dan kepedulian sosial, terutama di kalangan remaja. Mereka yang terjerumus dalam perjudian seringkali lebih mementingkan keuntungan pribadi daripada menjaga hubungan sosial dengan orang lain. Selain itu, kecanduan judi dapat menyebabkan gangguan mental, seperti kecemasan, depresi, hingga keinginan untuk bunuh diri.
Psikolog dari Universitas Gadjah Mada, Novi Poespita Candra, menjelaskan bahwa judi online dapat memicu gangguan kesehatan mental yang serius, mengurangi rasa percaya diri, dan merusak kemampuan seseorang untuk berinteraksi sosial. Kecanduan judi online juga cenderung meningkatkan individualisme dan pragmatisme. Pecandu yang terjerumus dalam perjudian semakin terisolasi, fokus hanya pada harapan untuk memenangkan uang dan memperbaiki kerugian, meskipun pada kenyataannya mereka sering kali terjebak dalam lingkaran kekalahan.
Hal ini menyebabkan berkurangnya kepedulian terhadap kesejahteraan orang lain dan melemahnya nilai-nilai sosial serta filantropi yang seharusnya menjadi pondasi kehidupan bermasyarakat.
Pendekatan Sosial dan Teologis
Untuk mengatasi dampak negatif judi online, dibutuhkan pendekatan sosial dan teologis yang komprehensif. Pendekatan sosial dapat dimulai dengan meningkatkan kesadaran masyarakat tentang bahaya judi online. Salah satu langkah yang dapat dilakukan adalah dengan memperkenalkan program-program pemberdayaan ekonomi yang lebih sehat serta aktivitas olahraga dan kegiatan produktif lainnya.
Lembaga-lembaga filantropi juga dapat berperan aktif menjangkau kalangan masyarakat tertentu, khususnya yang berpenghasilan rendah. Program pelatihan keterampilan dan akses terhadap lapangan pekerjaan yang layak dapat membantu masyarakat agar tidak terjebak dalam kecanduan judi sebagai jalan keluar dari masalah ekonomi.
Selain itu, mengalihkan perhatian individu dari judi online ke aktivitas positif seperti beribadah, meditasi, atau bergabung dengan komunitas sosial yang mendukung dapat menjadi cara efektif untuk mengurangi ketergantungan pada judi. Komunitas yang positif dapat memberikan dukungan moral dan emosional serta membantu individu menemukan kembali makna hidup yang lebih sehat dan bermakna.
Secara teologis, Islam dengan tegas melarang segala bentuk perjudian, baik yang konvensional maupun yang berbasis online. Dalam Al-Qur’an, Allah SWT berfirman dalam Surah Al-Ma’idah (5:90):
“Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya khamar, judi, berkorban untuk berhala, dan meramal nasib dengan anak panah adalah kekejian dari perbuatan setan, maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu beruntung.”
Ayat ini menegaskan bahwa judi adalah perbuatan yang jelas merusak, baik bagi individu maupun bagi masyarakat secara kolektif. Islam mengajarkan umatnya untuk menjauhi segala bentuk perjudian, karena selain merugikan diri sendiri, judi juga dapat merusak hubungan sosial dan menurunkan moralitas masyarakat.
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh sahabat Abdullah bin Amr bin Ash radhiyallahu ‘anhuma, disebutkan:
“Bermain dengan dua mata dadu untuk berjudi itu seperti orang yang memakan daging babi. Dan orang yang bermain dengan dua mata dadu tanpa bertaruh, seperti orang yang mencelupkan tangannya ke dalam darah babi.” (HR. Bukhari)
Hadis ini menegaskan bahwa perjudian adalah perbuatan haram yang sebanding dengan makan sesuatu yang diharamkan dalam syariat Islam. Hal ini berpotensi merusak kehidupan sosial dan spiritual seseorang.
Oleh karena itu, pendekatan teologis dalam Islam tidak hanya mengharamkan berbagai macam praktik perjudian, tetapi juga mengajarkan umat untuk menjaga diri dan keluarganya dari perbuatan yang dapat merusak hubungan sosial dan kesejahteraan mental.
Judi online bukan hanya masalah ekonomi, tetapi juga dampak sosial dan psikologis yang sangat besar. Kecanduan judi dapat merusak hubungan sosial, mengurangi rasa empati, dan mengikis nilai-nilai filantropi yang menjadi dasar kehidupan bermasyarakat Indonesia.
Syariat Islam dengan tegas melarang berbagai bentuk perjudian. Oleh karena itu, kaum cerdik pandai dan ulama juga harus berperan memberikan dasar moral agama yang kuat untuk menanggulangi dampak negatif dari para pecandu judi online.
Dengan kesadaran kolektif yang lebih besar dari masyarakat dan dukungan yang komprehensif, kita dapat mengurangi dampak buruk judi online dan mempromosikan tradisi gotong royong sebagai warisan budaya luhur, serta membangun budaya filantropi yang bermartabat. (Wallahu a’lam bis-sawab)
Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News