Mereka justru memerintah Nabi Musa dan Tuhannya untuk pergi berperang melawan musuh sembari mereka duduk-duduk menunggu kemenangan. Hal ini ditegaskan Al-Qur’an sebagaimana termaktub dalam firman-Nya:
قَالُواْ يَٰمُوسَىٰٓ إِنَّا لَن نَّدۡخُلَهَآ أَبَدٗا مَّا دَامُواْ فِيهَا فَٱذۡهَبۡ أَنتَ وَرَبُّكَ فَقَٰتِلَآ إِنَّا هَٰهُنَا قَٰعِدُون
Mereka berkata, “Hai Musa, kami sekali-kali tidak akan memasukinya selama-lamanya, selagi mereka ada di dalamnya. Karena itu pergilah kamu bersama Tuhanmu, dan berperanglah kamu berdua. Sesungguhnya kami hanya duduk menanti di sini saja.” (QS. Al-Mā’idah: 24)
Berpegang teguh pada nilai-nilai tauhid telah lepas sehingga Bani Israil mengalami mental inferior ketika diperintah untuk berperang melawan musuh.
Hati mereka tak bergantung pada Sang Pemberi kenikmatan. Hati mereka tertutup dari melihat berbagai karunia dan rahmat yang datang dari Sang Penguasa langit.
Mental inferior ini terlihat pada kaum Muslimin yang tidak memiliki keberdayaan dalam menegakkan nilai-nilai Islam.
Melihat kemungkaran, para elite Muslim yang sedang berkuasa tak mampu bertindak apa-apa.
Korupsi yang merajalela, judi online yang menjangkit di berbagai level sosial, suap yang menjadi nafas dalam peradilan, jual beli jabatan, dan berbagai kejahatan lain yang terbuka, namun elite Muslim tidak berani bertindak.
Mental inferior telah melanda negeri ini. Apakah hal ini merupakan warisan dari Bani Israil yang takut mati dan cinta dunia?
Yang jelas, ketika nilai-nilai tauhid sudah melemah, maka keberadaan Allah seolah dikesampingkan. Padahal ketika menjalankan perintah Allah dengan sungguh-sungguh, maka Allah pasti akan menolong untuk menyingkirkan berbagai kesulitan.
Apa yang dijalankan oleh para Nabi dan Rasul merupakan teladan, di mana pertolongan Allah senantiasa hadir dan menolong mereka di saat menghadapi berbagai kesulitan dan cobaan. (*)
Surabaya, 11 November 2024
Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News