UM Surabaya

Aisyah memahami bahwa manusia bisa saja salah mengingat atau lupa. Oleh karena itu, tidak semua perkataan yang dinisbatkan kepada Nabi bisa langsung diterima begitu saja, terutama jika tidak masuk akal.

Salah satu tolok ukurnya adalah Al-Qur`an. Aisyah seringkali membandingkan hadits dengan Al-Qur`an. Jika ada pertentangan, ia berani menyangsikan kesahihan hadis tersebut.

Ia tidak pernah meragukan Nabi, melainkan meragukan perawi hadis. Sebagai contoh, ketika ada sahabat yang meriwayatkan bahwa orang yang meninggal akan dihukum jika ada orang yang menangisi mereka, Aisyah menolaknya.

Ia berargumen bahwa Al-Qur`an telah menegaskan bahwa setiap jiwa bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri. Tangisan orang yang hidup adalah dosa mereka sendiri, bukan dosa orang yang telah meninggal.

Inilah contoh bagaimana pentingnya menggunakan akal sehat dan penilaian kritis dalam memahami hadis. Kita perlu memahami konteks zaman dan keterbatasan manusia dalam meriwayatkan hadis. Dengan demikian, kita bisa lebih bijak dalam menerima dan mengamalkan ajaran Nabi Muhammad saw.

Para ulama terdahulu, selain menyusun kitab-kitab hadits sahih, juga menyusun kitab-kitab yang memuat hadis-hadis palsu. Ini bukan tanpa alasan, melainkan sebagai bentuk upaya menjaga kemurnian ajaran Islam. Kitab-kitab tersebut berfungsi sebagai referensi cepat untuk mengidentifikasi hadis-hadis yang perlu diwaspadai.

Ibnu al-Jawzi, misalnya, menyusun kitab Al-Maudhu’at yang berarti hadits-hadits palsu. Dalam menyusun kitab ini, ia dan ulama lainnya tidak hanya meneliti rantai perawi, tetapi juga menggunakan kriteria rasional.

Misalnya, jika sebuah hadits menyebutkan seseorang terlibat dalam suatu peristiwa sebagai seorang Muslim, padahal diketahui dari sumber lain bahwa orang tersebut belum masuk Islam pada saat itu, maka hadits tersebut patut diragukan.

Selain itu, hadis yang bertentangan dengan akal sehat atau Al-Qur`an juga harus ditolak, meskipun diriwayatkan dalam kitab hadis yang terkenal. Al-Qur`an harus selalu menjadi tolok ukur utama dalam menilai kesahihan sebuah hadis.

Dengan adanya kitab-kitab hadits palsu dan penerapan kriteria rasional, kita dapat lebih berhati-hati dalam menerima hadis. Ini penting untuk memastikan bahwa kita tidak terjebak dalam narasi palsu yang dapat menyesatkan pemahaman kita tentang ajaran Islam.

Salah satu contoh penting adalah hadis tentang hukuman rajam bagi pezina. Al-Qur`an secara jelas menyebutkan hukuman cambuk, sementara hadits tersebut menyebutkan rajam. Bahkan ada yang berpendapat bahwa ayat tentang rajam pernah ada dalam Al-Qur`an, tetapi kemudian dihapus.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini