Dalam Al-Qur’an banyak ayat yang menjelaskan hal ini, di antaranya di akhir ayat 1 surat An-Nisa’:
اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا
“Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu.”
Sadarnya hati akan pengawasan Allah di dunia ini menjadikan kita memiliki rasa malu untuk melanggar perintah-Nya, sebagaimana seorang pekerja yang merasa diawasi oleh tuan atau majikannya.
Ketiga hal di atas yang mendorong kuat hati ini untuk malu kepada Allah dan akhirnya melahirkan ketaatan hanya kepada-Nya dengan sepenuh hati.
Jangan main-main dengan rasa malu, karena dalam hadis sahih Rasulullah menegaskan bahwa:
“Malu merupakan bagian dari keimanan.”
Artinya, seberapa kuat rasa malu kita, itulah cermin kualitas iman kita kepada Allah Swt.
Bahkan Rasulullah menggandengkan iman dan malu secara bersamaan. Jika hilang salah satu sisi dari keduanya maka hilanglah sisi yang lainnya. Ibarat dua sisi mata uang yang keduanya sangat penting dan menjadi penentu berharganya uang tersebut.
Lemahnya rasa malu karena lemahnya iman dalam hati, kuatnya rasa malu mencerminkan kuatnya iman dalam hati.
Agar iman tidak palsu, maka kuatkan dengan rasa malu kepada Allah. Jika ingin rasa malu kita benar, maka tumbuhkan rasa malu itu dengan teguhnya iman kepada Allah SWT.
Wallahu a’lam bish-shawab. (*)
Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News