Secara historis, tradisi penulisan tafsir di Muhammadiyah telah cukup lama. Jauh sebelum adanya Tafsir at-Tanwir, Muhammadiyah telah memulai proyek penulisan tafsir Alquran.
Dalam Jurnal Tarjih tahun 2014, tradisi tafsir Muhammadiyah setidaknya dapat dibedakan menjadi tiga periode.
Pertama, awal abad ke-20 hingga Tahun 1960-an. Dalam periode pertama ini, penafsiran di Muhammadiyah didominasi oleh pemikiran KH. Ahmad Dahlan yang menekankan pada pengembangan metode pengkajian ‘amaliy (etos kerja) terhadap ajaran Alquran.
Pelajaran dari Kiai Dahlan ini kemudian dikompilasikan oleh muridnya H. Hadjid menjadi buku dengan judul K.H. Ahmad Dahlan; 7 Falsafah ajaran dan 17 Kelompok Ayat Al-Quran.
Spirit yang diusung dalam “Tafsir Kiai Dahlan” ini menjadi etos tafsir Muhammadiyah. Etos yang diusung ialah tafsir Muhammadiyah itu berorientasi amal sosial dengan pondasi tauhid yang kokoh.
Karya lainnya pada periode ini ialah Tafsir Al-Quran; Djoez Ke Satoe yang disusun secara kolegial (kolektif) oleh Lajnah Tafsir yang terdiri dari beberapa ulama Muhammadiyah, yaitu, K.R. H. Hadjid, K.H. M. Mansoer, K.H. A. Badawi, K.H. Hadikoesoemo, K.H. Farid, H. Aslam dan para ulama lainnya.
Corak yang ditampilkan dari karya ini ialah adanya susunan tematik di dalamnya. Misalnya surat al-Baqarah dikelompokkan menjadi ayat 1-5 mengenai Al-Quran sebagai petunjuk bagi orang bertakwa, ayat 6-7 mengenai sikap orang kafir, ayat 8-20 mengenai sikap orang munafik, dan seterusnya.
Kedua, tahun 1970-an hingga 1980-an. Periode ini terbit beberapa tafsir yang ditulis secara individual oleh ulama-ulama Muhammadiyah. Misalnya, Tafsir Sinar yang disusun menurut nuzul (turunnya) surat dalam Al-Quran karya H. Abdul Malik Ahmad. Penyusunan yang unik berdasarkan tertib turunnya ayat ini membuat para pembaca dapat memahami rentetan usaha dan perjuangan Nabi.
Contoh lain yang lebih terkenal ialah Tafsir Al-Azhar karya HAMKA. Selain itu ada pula Tafsir Al-Bayan karya Hasbi Ash-shiddiq. Kedua tafsir ini mengurai Alquran secara lengkap 30 juz.
Keduanya mencoba untuk menerjemahkan pesan-pesan Alquran dalam bahasa, diksi, dan pilihan isu yang khas Indonesia. Pun demikian dengan Tafsir al-Hidayah karya Saad Abdul Wahid, yang membagi kitab tafsirnya menjadi topik-topik besar seperti akidah dan hukum.
Ketiga, dekade 1990-an. Pada periode ini lahir Tafsir Tematik Alquran tentang Hubungan Sosial Antarumat Beragama yang ditulis secara kolektif oleh tim khusus.
Tafsir ini tampak sekali sebagai respons isu pluralitas budaya dan agama yang sedang marak di penghujung abad ke-20. Akan tetapi, tafsir ini menimbulkan pro dan kontra di kalangan Muhammadiyah.
Pada tahun 2015, Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah menerbitkan Tafsir at-Tanwir. Para penulis Tafsir at-Tanwir merupakan barisan para ulama sekaligus akademisi yang bernaung di Muhammadiyah.
Tafsir yang bercorak tahlili cum maudhui ini memiliki empat etos utama: ibadah, ekonomi, sosial, dan keilmuan. Menurut Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah Ayub, Tafsir at-Tafsir ini merupakan kulminasi dari usaha-usaha sebelumnya.
Pada aspek yang lebih fundamental, tafsir ini tentu sangat peka terhadap perubahan sejarah dan kaitannya dengan kontekstualisasi pesan-pesan Alquran.
Namun seperti tradis tafsir Muhammadiyah pada umumnya, eksplorasi makna tetap diikat oleh kajian semantik sehingga tidak arbiter dan subjektif. (*)
*)Aly Aulia, anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah