*)Oleh: Dr Anwar Hariyono, SE, M Si
Dalam buku The Coming Wave: Technology, Power, and the Twenty-first Century’s Greatest Dilemma, Mustafa Suleyman, pelopor kecerdasan buatan (AI) dan salah satu pendiri DeepMind, menawarkan analisis mendalam tentang bagaimana kemajuan pesat dalam AI dan bioteknologi dapat mengubah wajah kemanusiaan. Buku ini sekaligus menjadi peringatan dan seruan untuk bertindak, mengajak pembaca menghadapi gelombang besar teknologi yang akan datang sebelum semuanya terlambat.
Suleyman dengan tegas mengemukakan argumennya: inovasi-inovasi ini membawa janji luar biasa seperti menyembuhkan penyakit, membuka dimensi baru kecerdasan, dan menyelesaikan tantangan global seperti perubahan iklim. Namun, alat yang sama juga memiliki potensi untuk menimbulkan bencana besar, mulai dari destabilisasi negara, munculnya pandemi sintetis, hingga penguatan rezim pengawasan yang invasif. Dualitas antara manfaat yang besar dan risiko yang menghancurkan inilah yang menjadi inti dilema yang ia bahas secara mendalam.
Buku ini terdiri dari empat bagian yang membawa pembaca melalui perjalanan sejarah hubungan manusia dengan teknologi hingga realitas menakutkan dari kemajuan teknologi saat ini. Gaya penulisan Suleyman yang lugas namun penuh otoritas menjadikannya mudah diakses dan menarik. Ia mampu menggabungkan anekdot pribadi dengan analisis global, dan keahliannya dalam menyajikan konsep ilmiah yang rumit ke dalam narasi yang memikat membuat buku ini tidak hanya mencerahkan, tetapi juga sangat menggugah.
Salah satu bab yang paling menonjol, The Containment Problem, mengupas ketidakmampuan historis manusia dalam mengendalikan penyebaran dan dampak teknologi, yang diibaratkan Suleyman sebagai mitos banjir besar kekuatan yang tidak dapat dijinakkan, hanya dapat diterima. Skeptisisme pragmatis Suleyman terhadap kemungkinan pengendalian teknologi terasa seperti angin segar di tengah janji-janji teknologi yang seringkali terlalu optimistis.
Argumen terkuat Suleyman muncul pada bagian akhir buku, di mana ia menawarkan langkah-langkah konkret untuk mengurangi risiko. Ia dengan bijak menghindari penyederhanaan berlebihan, dan meskipun ia mengakui bahwa solusi sempurna sulit dicapai, ia menekankan pentingnya kolaborasi global dan kerangka kebijakan yang kuat untuk mencegah bencana.
Beberapa kritikus mungkin menganggap pandangan Suleyman, yang dipengaruhi oleh posisinya sebagai insider Silicon Valley, terlalu optimistis mengenai kemampuan manusia mengendalikan gelombang teknologi ini. Namun, The Coming Wave tidak menghindar dari menghadapi pesimisme. Suleyman mengecam apa yang ia sebut sebagai “pessimism aversion”kecenderungan masyarakat untuk mengabaikan skenario terburuk sebagai bentuk berlebihan yang menurutnya menghalangi diskusi bermakna.
Buku ini bukan hanya untuk teknolog atau pembuat kebijakan; ini adalah panggilan bagi siapa saja yang mencoba memahami dampak hidup di dunia yang semakin didominasi algoritma dan biologi sintetis. Suleyman mengajak pembaca untuk menyadari peran mereka dalam membentuk masa depan di mana teknologi melayani kemanusiaan, bukan sebaliknya.
Dengan kombinasi urgensi dan kerendahan hati, The Coming Wave menyampaikan peringatan keras sekaligus visi yang penuh harapan, menyerukan kita semua untuk terlibat dalam percakapan penting ini. Seperti yang dikatakan filsuf Alain de Botton, buku ini mungkin tampak “konservatif” dalam 20 tahun, tetapi saat ini, buku ini sangat relevan dan tidak bisa diabaikan.
Kesimpulan: Bacaan wajib untuk zaman ini eksplorasi mendalam yang bermoral dan terarah tentang janji dan bahaya teknologi. Suleyman dengan meyakinkan menunjukkan bahwa gelombang teknologi yang akan datang bukan sekadar fenomena teknis, melainkan sebuah perubahan besar dalam masyarakat kita. (*)
Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News