Yunus Anies, Imam Tentara dan Perintis Dakwah Muhammadiyah

Di Persyarikatan, ada beberapa nama yang lekat dengan perannya di kalangan militer, antara lain Bapak TNI Jenderal Sudirman (w.1950), Mayor Jenderal Tituler Buya AR Sutan Mansur (w.1985), dan Letnan Kolonel Tituler K.H Raden Muhammad Yunus Anies (w.1979).

Nama terakhir adalah Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode 1959-1962. Yunus Anies menjabat sebagai Imam Tentara atau Kepala Pusat Rohani (Pusroh) Angkatan Darat RI pada 1954. Saat ini Pusroh berubah nama menjadi Pusbintal (Pusat Pembinaan Mental).

Keterlibatan Yunus Anies di militer diasaskan pada pengalamannya membina organisasi kepanduan Hizbul Wathan dan menjadi anggota PETA. Jabatan Tituler menunjukkan bahwa dirinya bukanlah anggota murni TNI AD.

Ningrat, Keturunan Raja Brawijaya V

Lahir di Kauman, Yogyakarta, 3 Mei 1903, Yunus Anies merupakan keturunan ke-18 dari Raja Brawijaya V. Gelar ‘Raden’ dibuktikan lewat Surat Kekancingan Swandana Tepas Dwara Putera Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat tahun 1961.

Dalam H.M. Yunus Anis: Amal, Pengabdian dan Perjuangannya (1999), Suratmin menulis bahwa ayah Junus Anies, Haji Muhammad Anis adalah seorang Abdi Dalem Kraton Ngayogyakarta.

Sementara itu Yunan Yusuf dalam Ensiklopedi Muhammadiyah (1949) menulis bahwa ibunya bernama Siti Saudah.

Yunus Anies merupakan anak sulung dari sembilan bersaudara. Dia bersaudara dengan Raden Haji Syarkawi, salah satu tokoh perintis Muhammadiyah yang namanya tercatat dalam struktur Hoofdbestuur (Pengurus Pusat) Muhammadiyah tahun 1912, demikian catat Mu’arif dalam Covering Muhammadiyah (2020).

Melanglangbuana, Perintis Dakwah Muhammadiyah di Luar Jawa
Selain mendapatkan pendidikan Keislaman secara non formal dari ayah dan kakeknya, Yunus Anies mengawali pendidikan formalnya di Sekolah Rakyat (SR) Muhammadiyah Yogyakarta.

Lepas dari SR Muhammadiyah, dia berpindah ke Batavia dan menempuh pendidikan di Sekolah Al-Attas dan Sekolah Al-Irsyad dengan bimbingan langsung sahabat KH Ahmad Dahlan, Syekh Ahmad Surkati.

Dari pengajaran Ahmad Surkati, Yunus Anies menjelma sebagai seorang mubalig militan. Setelah bergabung dengan Muhammadiyah pada 1925, dia segera membawa misi merintis dakwah Muhammadiyah hingga menjelajah Makassar (1926), Aceh (1928), Gorontalo (1929), Bengkulu (1929), termasuk Ujungpandang dan Sumatera Barat.

Di beberapa tempat yang dia kunjungi, sejumlah cabang Muhammadiyah pertama segera berdiri berkat kerja keras dirinya dan rekan-rekan sesama dai khusus yang ditugaskan Muhammadiyah.

Ibrahim Polontalo dalam Muhammadiyah di Sulawesi Utara 1928-1990 (1995) menulis keterangan bahwa Junus Anies, dkk berjasa dalam membuka sekolah Muhammadiyah dan cabang Muhammadiyah di daerah terjauh Indonesia yang berbatasan dengan Filipina, Pulau Sangihe.

Di samping menjadi mubalig, Yunus Anies dikenal sebagai jurnalis kritis yang konsisten menentang kebijakan Ordonansi Guru 1905 dan 1925 pemerintah Hindia Belanda.

Pidato penentangannya dalam Kongres Muhammadiyah ke-17 tahun 1928 di Yogyakarta bahkan dimuat surat kabar De Locomotief no.37, 14 Februari 1928. Surat kabar yang pernah dia pimpin antara lain majalah Ilmu dan Amal Suara Muhammadiyah serta Bintang Islam.

Pengembangan Cabang-Ranting

Selain karena pengalaman merintis dakwah Muhammadiyah ke seluruh Indonesia, Yunus Anies meyakini bahwa pengembangan jamaah akar rumput adalah kunci hidup matinya Persyarikatan. Dengan demikian, dirinya sangat memperhatikan pertumbuhan cabang dan ranting.

Pada tahun 1930-an, dia pernah menyatakan pentingnya prioritas untuk senantiasa mengaktifkan dan menumbuhkan cabang-ranting sekaligus merawat sistem tata organisasi.

Yunus mengutip beberapa contoh organisasi lain di masa itu dengan penegasan bahwa tanpa adanya akar rumput dan sistem organisasi yang ditaati, banyak organisasi besar yang berpengaruh dan dipimpin oleh para tokoh besar pada akhirnya tidak dapat bertahan lama (bubar).

Komitmen merawat sistem organisasi serta jamaah akar rumput dibuktikan saat dia menjabat sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah (1959-1962). Pada masanya, Muhammadiyah berhasil meningkatkan pengembangan cabang dan ranting Muhammadiyah secara luar biasa.

Majalah Suara Muhammadiyah 17–18 September 2018 mencatat bahwa dari tahun 1912–1960 Muhammadiyah hanya menghasilkan 1.835 cabang dan ranting.
Sedangkan pada masa kepemimpinan Yunus Anies, jumlah itu melesat sampai 2.740 cabang dan ranting (542 cabang dan 2.216 ranting).

Spesialis Jabatan Sekretaris

Setelah bergabung dengan Muhammadiyah di usia 22 tahun, Yunus Anies mulai merintis karirnya di Persyarikatan sebagai mubalig.

Dua tahun setelahnya, dia segera dipercaya sebagai pengurus cabang Muhammadiyah di Batavia sampai tahun 1926. Selanjutnya dia menjabat sekretaris Pengurus Cabang Muhammadiyah Kota Batavia (1927-1934), lalu sebagai Ketua (1928-1937).

Reputasinya sebagai mubalig yang militan, orator yang pandai menggugah semangat beramal serta keluasan ilmu dan kedisiplinan berorganisasinya membuat kariernya di Persyarikatan mulai menanjak.

Suratmin (1999) secara khusus mencatat, “Di lingkungan Muhammadiyah, H.M Yunus Anis sejak muda telah ikut mengembangkan Muhammadiyah. Sebagai seorang orator, beliau tampil mubalig sekaligus penggerak sehingga Muhammadiyah menjadi gerakan yang dinamis. Sebagai seorang administrator, beliau telah ikut meletakkan dasar–dasar administrasi Muhammadiyah secara tertib.”

Kedisiplinan berorganisasinya sendiri besar kemungkinan terpengaruh dari didikan dan teguran langsung tokoh kharismatik dari Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Haji Fakhruddin.

Di Pimpinan Pusat Muhammadiyah, dia telah enam kali menjadi Sekretaris, antara lain pada periode 1928-1930, 1932-1936, 1942-1950, 1950-1953, 1953-1956, dan 1956-1959.

Yunus Anies mulai menjadi Ketua PP Muhammadiyah ke-7 pada periode 1959–1962 menggantikan masa kepemimpinan K.H.A Badawi.

Tampilnya Yunus Anies sebagai Ketua Umum bukan karena dipaksa seperti masa-masa sebelumnya, melainkan karena mekanisme demokratis forum Tanwir yang menunjuk delapan orang untuk memberikan suara terbanyak dan sosok terpilih (Junus) pun ikhlas menerimanya.

Penggagas Kepribadian Muhammadiyah

Sebagai sosok yang dikenal teliti dan cermat dalam berorganisasi sebagaimana seniornya, KH Fakhruddin, Yunus Anies dikenal tekun mengarsip maupun menyimpan dokumen.

Setelah terpilih sebagai Ketua dalam Muktamar ke-34 di Yogyakarta, 18-23 November 1959, tindakan yang dia laksanakan di periodenya adalah soal tata kelola organisasi.

Buku 1 Abad Muhammadiyah: Gagasan Pembaruan Sosial Keagamaan (2010) mencatat, ada tiga fokus yang dia laksanakan. Pertama, membina dan meningkatkan kualitas tenaga dan potensi yang ada dalam Muhammadiyah sehingga dapat mewujudkan organisasi yang kompak dan dinamis, sanggup menunaikan tugas.

Kedua, menggunakan potensi Muhammadiyah, bersama potensi umat Islam di luar Muhammadiyah dalam menyusun perjuangan umat dan tujuan bersama.

Ketuga, memegang teguh kemudi pimpinan Muhammadiyah sehingga dapat menjadi contoh bagi anggota berdasar tuntunan ajaran Islam menuju baldatun tayyibatun wa rabbun ghafur.

Selama periode kepemimpinannya, Yunus Anies juga mengawal gagasan tentang Kepribadian Muhammadiyah yang mana perumusannya digarap oleh sebuah tim di bawah pimpinan KH. Faqih Usman, dan diputuskan dalam Muktamar Muhammadiyah ke-35 tahun 1962.

Sesuai fungsinya, Kepribadian Muhammadiyah menjadi panduan bagi anggota Muhammadiyah.

Internasionalisasi Muhammadiyah

Setelah purna menjabat sebagai Ketua Umum, Yunus Anies menjadi penasehat Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada 1962-1965 sekaligus menjadi Wakil Ketua I Majelis Pendidikan dan Pengajaran.

Setelah itu dirinya menjadi penasehat PP Muhammadiyah 1965-1968 sekaligus Wakil Ketua II Majelis Tarjih dan Wakil Ketua I Majelis Pendidikan dan Pengajaran, serta Ketua Urusan Dokumentasi dan Sejarah.

Kemudian menjadi penasehat Ikatan Karyawan Muhammadiyah 1965-1968, Wakil Ketua IV PP Muhammadiyah 1968-1971, dan penasihat Majelis Pustaka PP Muhammadiyah 1971-1974.

Pada pidato iftitah Kongres Muhammadiyah seperempat abad, 21-26 Juli 1936 di Jakarta, Yunus Anies sempat mengutip mimpi besar KH Dahlan untuk menginternasionalisasikan gerakan Muhammadiyah sebagai ‘Bapak Dunia’ dan gerakan ‘Aisyiyah sebagai ‘Iboe Dunia’.

Maksudnya KH Ahmad Dahlan ingin kedua organisasi ini dapat menjadi ikon bagi gerakan Islam yang maju dan berpengaruh di dunia.

Yunus Anies wafat pada tahun 1979 di usianya yang ke-76 tahun. Yunus Anies dimakamkan di kompleks pemakaman Karangkajen, Daerah Istimewa Yogyakarta, bertetangga dengan makam Kiai Ahmad Dahlan dan tokoh-tokoh perintis Muhammadiyah.

Sebagai penghargaan, Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) meresmikan bangunan masjid bernama Yunus Anis pada Oktober 2022.

Di antara pesan yang membekas antara lain nasehatnya agar Muhammadiyah menjaga jarak dari politik praktis. Pesan ini dia sampaikan pada Pidato Iftitah Muktamar ke-35 (1962).

“Para politikus suka mengatakan bahwa kalau Muhammadiyah tetap bersikukuh tidak berpolitik, tentu akan dimakan politik. Jawaban kita: silahkan makan kalau memang doyan. Tapi awas, kalau nanti keleleden. Ditelan tidak masuk, dilepeh tidak keluar.”

Selain itu, dirinya menekankan agar umat senantiasa bertakwa. Tidak ada perbedaan kualitas antara profesi seseorang dengan ketakwaannya.

“Hamba Allah itu harus bertakwa. Jadi Tukang Sapu, Pegawai Negeri, Prajurit, bahkan Presiden sekalipun haruslah bertakwa.” (*)

Sumber: muhammadiyah.or.id

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini