Pada Abad Pertengahan, Islam menjadi pionir dalam pengembangan ilmu pengetahuan.
Tidak hanya menguasai diskursus hukum dan ilmu sosial, mereka juga piawai dalam sains dan teknologi.
Saat ini, gairah untuk pengembangan ilmu pengetahuan perlahan-lahan mulai meredup. Banyak faktor penyebab kemunduran ini dan kompleks sifatnya.
Sebab pertama kemerosotan peradaban Islam dan kemunduran upaya pengembangan ilmu adalah karena banyaknya pergerakan-pergerakan militer.
Pergerakan militer ini meruntuhkan infrastruktur peradaban dan memusnahkan pusat-pusat riset.
Pun demikian menghilangkan peluang pengembangan iptek yang memerlukan kestabilan kondisi.
Invasi Mongol di bawah pimpinan Hulagu Khan yang menghancurkan Baghdad, ibukota keagamaan dan peradaban Islam tahun 1258 sangat berpengaruh terhadap kemunduran keilmuan di dunia Islam.
Begitu pula penaklukan Kerajaan Islam Granada tahun 1492 melalui program reconquista di bawah Ferdinand II dan Isabella, secara lambat laun mengakhiri dominasi peradaban keilmuan umat Islam hingga sekarang.
Selain adanya invasi militer, ketertinggalan Islam dalam bidang diskursus keilmuan merupakan konsekuensi dari kecelakaan sejarah di masa lampau.
Madrasah Nizhamiyyah yang diprakarsai Dinasti Bani Saljuk dalam kebijakan kurikulumnya hanya mengajarkan ilmu-ilmu keagamaan, tidak mengajarkan ilmu-ilmu pengetahuan eksakta dan kealaman.
Hal ini lambat laun memberi pengaruh kepada merosotnya pengembangan iptek di dunia Muslim zaman tengah.
Bahkan dalam konteks ini, filsafat yang belum dipisahkan dengan ilmu diharamkan oleh para ulama sebagaimana dicatat oleh Ibn Khaldun.
Dalam rangka memperpendek jarak ketertinggalan kaum Muslimin dalam pengembangan iptek, maka umat Islam perlu kembali kepada sumber pokok ajaran Islam.
Yakni, Alquran dan sunah Nabi saw guna menghayati dan menanamkan kembali dorongan kuat dari kedua sumber ajaran itu tentang pentingnya sains dan teknologi.
Dalam hadis disebutkan bahwa menuntut dan mengembangkan ilmu adalah suatu jihad di jalan Allah.
“Barang siapa yang keluar untuk mencari ilmu, maka dia berada di jalan Allah sampai ia kembali. (HR at-Tirmidzi).
Selain itu, perlu juga paradigma integratif yang menyatukan agama dan ilmu pengetahuan dalam mengejar ketertinggalan pengembangan diskursus keilmuan.
Dalam sejarah peradaban Islam pola pengembangan ilmu yang integratif ini telah menjadi pilihan.
Pengembangan ilmu tetap berada dalam koridor yang tidak bertentangan dengan pokok-pokok ajaran Islam.
Tentu terdapat dinamika pikiran, diskusi, perdebatan, dan bahkan mungkin pertarungan pendapat mengenai bagaimana integrasi ilmu itu dilakukan.
Tokoh integratif seperti Ibnu Rusyd, filosof Islam yang di Eropa Zaman Tengah dikenal dengan sebutan Averroes ini pada tahun 1179-1180, menulis buku berjudul Faṣl al-Maqāl wa Taqrīr mā bayna asy-Syarīʻah wa al-Ḥikmah min al-Ittiṣāl.
Buku ini menjelaskan tentang keterhubungan antara agama dan filsafat. Selain Ibnu Rusyd, Syamsul juga menyebut bahwa Al-Ghazali adalah figur integratif, walau pun beberapa aspek pemikirannya kontroversial.
Hujjatul Islam mengintegrasikan sistem pengetahuan bayani dan sistem irfani dalam bukunya Iḥyā’ ‘Ulūmddīn dan salah satu karyanya ia menegaskan bahwa syarak (hukum Islam) dan akal tidak dapat dipisahkan, keduanya saling melengkapi.
Kedua tokoh ini yang kerap diperbandingkan ini dapat menjadi referensi historis cara pandang integratif.
Ini berarti, seperti ditegaskan oleh Francis S. Collins di zaman modern, bahwa iman kepada Tuhan secara keseluruhan dapat menjadi pilihan yang rasional, dan bahwa prinsip-prinsip keimanan sesungguhnya saling melengkapi dengan prinsip-prinsip sains. (*)
(Disampaikan Ketua PP Muhammadiyah Syamsul Anwar dalam Seminar Integrasi Keilmuan dalam Hisab, Rukyat, dan Kalender Global Unikatif di UMY, 2 Juni 2023)