Sekretaris Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Prof Abdul Mu’ti, mengingatkan bahaya musyrik politik, yaitu perilaku mengeksploitasi manusia untuk memperoleh jabatan atau posisi tertentu.
Pesan ini disampaikan dalam Musyawarah Pimpinan Wilayah (Musypimwil) I Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur yang digelar di Aula Mas Mansur, Jalan Kertomenanggal IV/1, Surabaya, Ahad (15/12/2024).
Dalam pidatonya, Prof Abdul Mu’ti menekankan pentingnya menjunjung nilai moral dan etika dalam dunia politik.
Musyrik politik yang dimaksud tersebut adalah salah satu bentuk penyimpangan yang harus dihindari oleh setiap individu. Jangan sampai kita menghalalkan segala cara, termasuk mengeksploitasi orang lain demi kepentingan pribadi.
“Kalau Fir’an jelas musyrik teologis. Musyrik politik ini juga bertentangan dari ajaran tauhid,” kata Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) RI ini.
Acara Musypimwil I ini dihadiri oleh para pimpinan Muhammadiyah dari berbagai daerah di Jawa Timur. Kegiatan tersebut bertujuan menyusun program kerja dan strategi organisasi, sejalan dengan prinsip Muhammadiyah sebagai gerakan Islam berkemajuan.
Mu’ti menyampaikan bahwa risalah Menghadirkan Kemakmuran untuk Semua, tema Musypimwil I, selaras dengan tugas manusia sebagai khalifah fil ardh atau pemimpin di muka bumi. Hal ini, menurutnya, merupakan tanggung jawab teologis dan konstitusional.
Merujuk pada Surat Hud ayat 61, Mu’ti menegaskan pentingnya menciptakan kemakmuran di tempat masing-masing.
Pemimpin, katanya, harus dekat dengan komunitasnya agar memahami budaya, kebutuhan, dan denyut nadi masyarakat.
Ia juga mengingatkan tentang misi tauhid, yang menegaskan posisi manusia sebagai Abdullah (hamba Allah).
“Dalam pandangan Muhammadiyah, kemakmuran bangsa hanya bisa terwujud jika bangsa tersebut merdeka, bersatu, berdaulat, dan adil,” tegsnya.
Mu’ti menyoroti pentingnya kedaulatan ekonomi dan keadilan sosial sebagai kunci kemakmuran bangsa.
Pengelolaan ekonomi, menurutnya, harus dilakukan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, tanpa diskriminasi.
“Keadilan tidak hanya soal hukum, tetapi juga keadilan sosial, pendidikan, dan kesejahteraan. Jika keadilan tidak tercipta, maka kelompok kecil akan mendominasi kelompok besar,” jelasnya.
Ia juga menekankan bahwa kemakmuran bukan hanya bersifat materialistik. Dalam Islam, konsep well-being lebih diutamakan daripada sekadar welfare.
Dalam kesempatan tersebut, Mu’ti juga menceritakan teladan sikap KH Ahmad Dahlan yang egaliter dan bersahaja.
Meski berasal dari kalangan priyayi dan memiliki gelar Raden Ngabehi, KH Ahmad Dahlan tidak pernah menggunakan gelar tersebut.
“Beliau adalah sosok yang tidak elitis. Bergaul dengan semua kalangan. KH Ahmad Dahlan punya gelar bangsawan, tapi dia tak pernah memakainya. Dia tidak hanya bergaul dengan kaum terpelajar, tetapi juga kepada masyarakat biasa,” ungkap Mu’ti.
Sikap ini, lanjutnya, mencerminkan nilai-nilai Muhammadiyah sebagai organisasi yang tidak eksklusif, melainkan inklusif dan terbuka untuk semua.
“Muhammadiyah hadir untuk memberikan solusi bersama, menyelesaikan masalah secara kolektif, bukan sekadar mengentertain persoalan,” tuturnya.
Dengan semangat ini, Muhammadiyah terus berkomitmen mendukung terciptanya bangsa yang maju melalui pendidikan berkualitas, ekonomi yang berkeadilan, dan kesejahteraan yang merata untuk seluruh rakyat Indonesia. (wh)
Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News