Muhasabah Akhir Tahun: Refleksi Diri Menuju Masa Depan yang Lebih Baik
foto: theramreview.com
UM Surabaya

*)Oleh: Ubaidillah Ichsan, S.Pd
Korps Mubaligh Muhammadiyah (KMM) PDM Jombang

Learn to be forgiving, stop being a hater, stop blaming people, learn to improve yourself
“(Belajar jadi pemaaf, berhenti menjadi pembenci, berhenti salahkan orang, belajar memperbaiki diri)”

Akhir tahun adalah momen yang tepat untuk melakukan muhasabah atau introspeksi diri. Dalam Islam kegiatan ini sangat dianjurkan karena dengan muhasabah, kita dapat mengevaluasi segala tindakan yang telah dilakukan sepanjang tahun. Sebagaimana dijelaskan dalam firman-Nya,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ وَلْتَنظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍ ۖ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ خَبِيرٌۢ بِمَا تَعْمَلُونَ
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Qs. Al-Hasyr:18)

Dalam ayat ini, Allah selain memerintahkan orang beriman untuk bertakwa, juga memerintahkan untuk melihat (muhasabah) terhadap apa yang telah dilakukan untuk hari esok.

Sebagian besar para ulama menafsirkan kata hari esok dalam ayat ini dengan akhirat. Namun demikian, pastinya hari esok dalam ayat ini tidak hanya terbatas untuk akhirat saja melainkan untuk masa depan.

Allah dengan jelas memerintahkan kepada orang beriman untuk melihat apa-apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok. Tentunya melihat apa-apa yang telah dilakukan ini paling efektif yaitu dengan bermuhasabah.

Muhasabah dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan sebagai introspeksi atau mawas diri, yaitu peninjauan atau koreksi terhadap (perbuatan, sikap, kelemahan, kesalahan, dan sebagainya) diri sendiri.

Imam Al-Ghazali mengaitkan muhasabah dan tobat. Keduanya tidak dapat dipisahkan karena tobat adalah peninjauan atau koreksi terhadap perbuatan atau sikap diri sendiri yang sudah dilakukan dengan rasa penyesalan. Imam Al-Ghazali dalam kaitan dengan muhasabah dan tobat mengutip Surat An-Nur ayat 31 dan Surat Al-A’raf ayat 201.
وَتُوبُوٓا۟ إِلَى ٱللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا ٱلْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Artinya:
“Bertobatlah kalian kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman, agar kalian beruntung,” (Qs.An-Nur : 31).

إِنَّ الَّذِينَ اتَّقَوْا إِذَا مَسَّهُمْ طَائِفٌ مِنَ الشَّيْطَانِ تَذَكَّرُوا فَإِذَا هُمْ مُبْصِرُونَ
Artinya:
“Sungguh, orang-orang yang bertakwa bila ditimpa was-was dari setan, mereka ingat kepada Allah, lalu ketika itu juga mereka melihat (kesalahan-kesalahannya),” (Qs. Al-A’raf: 201).

Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah dalam kitab Jami’us Sirah mengemukakan bahwa Nabi SAW adalah manusia yang paling banyak tobatnya Beliau juga adalah manusia yang paling sering beristighfar. Para sahabat mendengar beliau membaca istighfar lebih dari 70 kali atau 100 kali dalam sekali duduk. Dari Abu Hurairah, ia mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَاللَّهِ إِنِّى لأَسْتَغْفِرُ اللَّهَ وَأَتُوبُ إِلَيْهِ فِى الْيَوْمِ أَكْثَرَ مِنْ سَبْعِينَ مَرَّةً
Artinya:
“Demi Allah, aku sungguh beristighfar pada Allah dan bertaubat pada-Nya dalam sehari lebih dari 70 kali.” (HR. Bukhari No. 6307)

Ibnul Qayyim dalam kitab Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’ mengingatkan agar tidak terjebak dalam anggapan bahwa dosa-dosa akan terhapus hanya dengan amalan lahiriah seperti istighfar atau puasa sunnah, tanpa disertai taubat yang tulus, meninggalkan dosa, dan berbuat kebaikan yang nyata untuk mendapatkan ampunan Allah SWT.

Mari jadikan akhir tahun ini sebagai momentum untuk memperbaiki diri dan menjadi pribadi yang lebih baik.

Semoga bermanfaat.

Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini