Lembaga Hubungan dan Kerjasama Internasional (LHKI) Muhammadiyah bekerja sama dengan LazisMu menyelenggarakan program “Multicultural Dialogue and Peacebuilding on Palestine” di Yogyakarta, Surakarta, dan Jakarta pada 11-18 Desember 2024.
Program ini dirancang sebagai laboratorium bina damai (peacebuilding lab) untuk memperkuat kapasitas generasi muda Palestina melalui pendekatan dialog multikultural, negosiasi, dan mediasi nir kekerasan.
Sekretaris LHKI PP Muhammadiyah sekaligus dosen Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Yayah Khisbiyah, menyebutkan bahwa inisiatif ini merupakan inovasi baru di Indonesia.
“Dukungan untuk Palestina selama ini seringkali berfokus pada bantuan kemanusiaan seperti sembako atau advokasi internasional. Namun, Muhammadiyah melihat perlunya pendekatan people to people dengan meningkatkan kapasitas generasi muda Palestina agar mereka mampu mengatasi konflik secara mandiri,” ungkap Yayah, pada Sabtu (14/12/2024).
Program ini menjadi terobosan yang mendapat apresiasi internasional, terutama karena berasal dari organisasi masyarakat sipil di Asia, di mana inisiatif serupa umumnya diinisiasi oleh organisasi dari Eropa.
Selain mengembangkan kapasitas pemuda Palestina dalam resolusi konflik nir kekerasan, Muhammadiyah menekankan pentingnya pemberdayaan di bidang pendidikan, kesehatan, dan ekonomi sebagai landasan menciptakan perdamaian yang berkelanjutan.
“Kami percaya bahwa perdamaian sejati hanya bisa tercapai jika komunitas diberdayakan secara holistik. Pendidikan, layanan kesehatan, dan ekonomi harus berjalan beriringan dengan upaya resolusi konflik tanpa kekerasan,” ujar Yayah.
Sebagai bagian dari rangkaian program, Muhammadiyah juga menggagas pendirian Museum Palestina untuk mendokumentasikan sejarah panjang perjuangan rakyat Palestina.
Nama museum tersebut masih dalam diskusi, dengan opsi seperti Museum Nakba Palestina atau Museum Genosida Palestina. Museum ini diharapkan menjadi simbol perjuangan sekaligus inspirasi bagi generasi mendatang.
Program ini dihadiri oleh sejumlah tokoh penting, termasuk Dr. Alhoucine Rhazoui (Direktur Departemen Urusan Kebudayaan OIC), Mr. Mutasem Taem (Ketua Jerusalem Institute, Al Quds University), dan Kayed al-Meary (Witness-Syahid Center for Citizens Rights and Social Development).
Dr. Alhoucine Rhazoui mengapresiasi pendekatan multikultural yang diterapkan Muhammadiyah.
Menurutnya, Palestina adalah wilayah yang kaya akan keberagaman budaya dan agama karena menjadi tempat lahirnya peradaban manusia dan tiga agama samawi: Islam, Kristen, dan Yahudi.
“Pendekatan multikultural sangat relevan di Palestina. Kita membutuhkan cara untuk memperbaiki persepsi yang salah di antara penganut ketiga agama tersebut agar mampu hidup berdampingan,” ujar Alhoucine.
Ia juga memuji Indonesia sebagai contoh yang berhasil menerapkan harmoni keberagaman.
“Indonesia adalah bukti nyata bahwa masyarakat dengan latar belakang yang beragam dapat hidup berdampingan secara damai. Hal ini bisa menjadi model yang relevan bagi Palestina,” tambahnya.
Program Peacebuilding Lab ini diharapkan dapat menjadi langkah awal yang berkelanjutan dalam mendukung perdamaian di Palestina.
Muhammadiyah berkomitmen untuk terus memberikan dukungan, tidak hanya melalui bantuan kemanusiaan, tetapi juga dengan memperkuat kapasitas generasi muda Palestina agar mereka dapat membangun masa depan yang lebih baik.
“Muhammadiyah ingin menghadirkan pendekatan yang berbeda, yakni memberdayakan pemuda Palestina agar mereka mampu menghadapi konflik dengan cara yang damai dan bermartabat. Kami berharap ini menjadi inspirasi bagi organisasi lain,” tutup Yayah.
Dengan kombinasi inovasi, pendekatan multikultural, dan pemberdayaan generasi muda, program ini menjadi bukti bahwa perdamaian dapat dimulai dari masyarakat sipil dan diimplementasikan secara berkelanjutan. (humas ums)
Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News