Kelahiran Muhammadiyah diawali dari ‘gerombolan’ pengajian yang dilakukan oleh KH Ahmad Dahlan.
Istilah gerombolan tersebut bukan bermakna negatif. Karena pada saat itu publik menyebut istilah kelompok dengan gerombolan.
Meski pun saat ini lebih berkonotasi negatif, tapi sejarah mencatat istilah itu yang digunakan untuk mengidentifikasi kelompok pengajian.
Dahulu, Muhammadiyah itu lahir dari jamaah pengajian. Oleh karena itu, wajar jika warga Muhammadiyah senang mengaji.
Kebiasaan mengaji yang dimiliki oleh warga Muhammadiyah ini sepatutnya terus dilestarikan.
Tidak harus menggunakan metode yang sama dengan yang dilakukan oleh Kiai Dahlan dan di masa awal Muhammadiyah. Karena metode dan media bisa mengikuti perubahan zaman.
Dalam pengajian, tidak harus diselenggarakan dalam situasi dan kondisi yang serius. Pengajian juga bisa melalui media seni dan budaya.
Sesuai dengan kaidah yang telah ditetap oleh Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah. Maka pengajian di Muhammadiyah, tidak dilarang jika diselingi nyanyian.
Nada atau nyanyian itu pada hakikatnya itu halal, namun akan bisa menjadi haram untuk akibat yang lain.
Jika nada yang dinyanyikan bisa mengantarkan seseorang untuk semakin dekat dengan Allah SWT dan mengajak kebaikan itu halal.
Namun sebaliknya nada yang dinyanyikan menjadi haram jika berlawanan dengan itu.
Warga Muhammadiyah supaya senantiasa melestarikan tradisi mengaji yang diwariskan secara turun temurun oleh para pendahulu.
Dalam keadaan apa pun, warga Muhammadiyah tidak boleh melupakan aktivitas mengaji.
Agar aktivitas mengaji warga Muhammadiyah tetap berkobar dan tidak kendur, maka harus diimbangi dengan metode pengajian yang menarik dan atraktif.
Pengajian Muhammadiyah juga diharapkan bukan hanya digelar dalam forum-forum luring, tetapi juga daring sesuai dengan perkembangan teknologi informasi. (*)
(Disampaikan Ketua PP Muhammadiyah dr. Agus Taufiqurrahman dalam acara Pengukuhan PDM dan PDA Sleman, 1 Juni 2023)