Sebagian dari mereka ada yang mengatakan bahwa hukum ini terjadi sebelum diturunkan hukum-hukum mengenai had. Muhammad Ibnu Sirin mengatakan bahwa pendapat ini perlu dipertimbangkan, mengingat kisah kejadiannya terbelakang. Di dalam riwayat Jarir ibnu Abdullah mengenai kisah mereka disebutkan hal yang menunjukkan keterbelakangannya, karena Jarir ibnu Abdullah masuk Islam sesudah surat Al-Maidah diturunkan.
Di antara mereka ada yang mengatakan bahwa Nabi (shallallahu ‘alaihi wasallam) tidak membutakan mata mereka, melainkan hanya berniat akan melakukan hal tersebut, tetapi keburu diturunkan ayat Al-Qur’an yang menjelaskan hukum para pemberontak. Pendapat ini pun masih perlu dipertimbangkan, karena dalam hadis yang telah muttafaq di atas disebutkan bahwa Nabi (shallallahu ‘alaihi wasallam) membutakan mata mereka.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Sahl, telah menceritakan kepada kami Al-Walid ibnu Muslim yang telah menceritakan bahwa ia pernah membicarakan dengan Al-Lais ibnu Sa’d mengenai hukuman membutakan mata yang dilakukan oleh Nabi (shallallahu ‘alaihi wasallam) terhadap mereka dan membiarkan mereka tanpa mengobatinya hingga mati semua. Maka Al-Lais ibnu Sa’d mengatakan, “Aku pernah mendengar Muhammad ibnu Ajlan mengatakan bahwa ayat ini diturunkan kepada Rasulullah (shallallahu ‘alaihi wasallam) sebagai teguran terhadapnya dalam peristiwa itu, dan mengajarkan kepadanya cara menjatuhkan hukum terhadap orang-orang yang semisal dengan mereka, yaitu dihukum mati, dipotong anggota tubuhnya, dan diasingkan. Setelah peristiwa itu Nabi (shallallahu ‘alaihi wasallam) tidak melakukan hukuman membutakan mata lagi terhadap yang lainnya.”
Al-Walid ibnu Muslim mengatakan, “Lalu pendapat ini dikemukakan kepada Abu Amr, yakni Al-Auza’i. Maka Al-Auza’i menyanggah pendapat yang mengatakan bahwa ayat ini diturunkan sebagai teguran kepada Nabi (shallallahu ‘alaihi wasallam) dan ia mengatakan bahwa bahkan sanksi itu ditetapkan sebagai hukuman terhadap orang-orang tersebut secara khusus, kemudian diturunkan ayat ini yang menjelaskan hukuman terhadap orang-orang selain mereka yang melakukan pemberontakan sesudahnya, dan hukuman membutakan mata dihapuskan.”
Jumhur ulama telah menyimpulkan dari keumuman makna ayat ini, bahwa hukum muharabah yang dilakukan di kota-kota besar dan di jalan-jalan penghubung sama saja, karena berdasarkan firman-Nya: Dan membuat kerusakan di muka bumi (Al Maidah : 33)
Demikianlah menurut mazhab Imam Malik, Al-Auza’i, Al-Lais ibnu Sa’d, Asy-Syafii. dan Ahmad ibnu Hambal. Sehingga Imam Malik mengatakan —sehubungan dengan seseorang yang diculik, lalu ditipu dimasukkan ke dalam sebuah rumah, kemudian dibunuh dan semua barangnya dirampok— bahwa hal ini dimasukkan ke dalam kategori muharabah. Maka darahnya diberikan kepada sultan, bukan kepada wali si terbunuh. Untuk itu, tidak dianggap pemaafan dari pihak wali si terbunuh dalam menggugurkan hukuman mati terhadap pelakunya.
Imam Abu Hanifah dan murid-muridnya mengatakan bahwa muharabah hanya dilakukan di jalan-jalan yang sepi. Jika dilakukan di dalam kota, maka bukan muharabah, karena si teraniaya dapat meminta tolong kepada orang lain. Lain halnya jika dilakukan di tengah jalan, jauh dari orang-orang yang dimintai tolong dan dari orang yang mau membantunya.
Firman Allah (Subhanahu wa Ta’ala).:
{أَنْ يُقَتَّلُوا أَوْ يُصَلَّبُوا أَوْ تُقَطَّعَ أَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُمْ مِنْ خِلافٍ أَوْ يُنْفَوْا مِنَ الأرْضِ}
hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). (Al-Maidah: 33)
Ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna ayat ini mengenai hukuman mengangkat senjata terhadap golongan Islam dan melakukan teror di tengah jalan, kemudian dapat ditangkap dan dihadapkan ke pengadilan, maka imam kaum muslim boleh memilih salah satu di antara hukuman-hukuman berikut, yaitu jika ia suka boleh menghukum mati, menghukum salib, boleh pula menghukum potong tangan dan kaki secara bersilang.
Hal yang sama telah dikatakan oleh Sa’id ibnul Musayyab, Mujahid, Ata, Al-Hasan Al-Basri, Ibrahim An-Nakha’i, dan Ad-Dhahhak. Semuanya itu diriwayatkan oleh Abu Ja’far ibnu Jarir. Hal yang semisal telah diriwayatkan dari Malik ibnu Anas.
Sandaran pendapat ini berdasarkan analisis nahwu yang menyatakan bahwa lahiriah au menunjukkan makna takhyir, sama halnya dengan hal-hal lainnya yang semisal di dalam Al-Qur’an, seperti dalam masalah denda berburu, yaitu firman-Nya:
{فَجَزَاءٌ مِثْلُ مَا قَتَلَ مِنَ النَّعَمِ يَحْكُمُ بِهِ ذَوَا عَدْلٍ مِنْكُمْ هَدْيًا بَالِغَ الْكَعْبَةِ أَوْ كَفَّارَةٌ طَعَامُ مَسَاكِينَ أَوْ عَدْلُ ذَلِكَ صِيَامًا}
maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil di antara kalian sebagai hadya yang dibawa sampai ke Ka’bah, atau (dendanya) membayar kifarat dengan memberi makan orang miskin, atau berpuasa seimbang dengan makanan yang dikeluarkan itu. (Al-Maidah: 95)
Juga seperti dalam firman Allah (Subhanahu wa Ta’ala) mengenai kifarat fidyah, yaitu:
{فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ بِهِ أَذًى مِنْ رَأْسِهِ فَفِدْيَةٌ مِنْ صِيَامٍ أَوْ صَدَقَةٍ أَوْ نُسُكٍ}
Jika ada di antara kalian yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu ia bercukur), maka wajiblah atasnya berfidyah. yaitu berpuasa atau bersedekah atau berkurban. (Al-Baqarah: 196)
Dan seperti dalam firman-Nya mengenai kifarat sumpah, yaitu:
{إِطْعَامُ عَشَرَةِ مَسَاكِينَ مِنْ أَوْسَطِ مَا تُطْعِمُونَ أَهْلِيكُمْ أَوْ كِسْوَتُهُمْ أَوْ تَحْرِيرُ رَقَبَةٍ}
ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kalian berikan kepada keluarga kalian, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. (Al-Maidah: 89)
Semuanya ini menunjukkan makna takhyir (pilihan), maka demikian pula makna di dalam ayat ini