Dunia modern telah membawa banyak perubahan besar dalam berbagai aspek kehidupan manusia. Perkembangan teknologi, globalisasi, dan dinamika sosial yang terus berkembang, menjadikan tantangan bagi setiap individu, khususnya bagi umat Islam dalam mempertahankan dan memperkuat keimanan.
Di tengah arus perubahan ini, iman sering kali terancam oleh keraguan, materialisme, dan sekularisme yang berkembang pesat. Namun, iman juga merupakan kekuatan yang memungkinkan umat Islam untuk tetap bertahan, berpijak, dan menavigasi dunia modern ini dengan bijaksana.
“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar Kami akan menunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar bersama orang-orang yang berbuat baik.” (Al-Ankabut  [29]: 69)
“Wahai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu, dan kuatkanlah kesabaranmu, dan tetaplah bersiap siaga, dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu beruntung.” (Ali-Imran [3]: 200)
Dunia modern diwarnai oleh inovasi teknologi yang mengubah cara kita berkomunikasi, bekerja, dan bahkan beribadah.
Perangkat digital, internet, kecerdasan buatan, dan kemajuan lainnya memberikan kemudahan yang luar biasa dalam kehidupan sehari-hari.
Namun, teknologi juga menciptakan tantangan besar bagi umat manusia, terutama dalam hal interaksi sosial, cara berpikir, dan orientasi hidup.
Menurut Patricia Aburdene teknologi dapat mempengaruhi cara kita berinteraksi dengan orang lain. Misalnya, munculnya media sosial dan komunikasi digital menyebabkan hubungan manusia menjadi lebih cepat namun lebih dangkal.
Meskipun teknologi mempercepat interaksi, hal ini dapat mengurangi kedalaman komunikasi dan keintiman yang biasanya terjalin dalam interaksi tatap muka.
Selain itu, Aburdence melihat bahwa teknologi sering kali membentuk pandangan dunia kita, mengubah bagaimana kita memandang waktu, ruang, dan hubungan sosial.
Selain karena kemajuan teknologi yang menyajikan berbagai wahana untuk mempercepat komunikasi antar individu, salah satu faktor yang menyebabkan berkurangnya masyarakat sosial adalah adanya mosi tidak percaya terhadap lingkungannya sendiri, bahkan dalam lingkup terdekat seperti keluarga, tetangga dan lingkungan kerja.
Ini dikarenakan banyaknya terjadi tindakan kriminalitas yang umumnya terjadi justru karena orang-orang disekitar lingkungan tersebut sehingga orang cenderung memilih untuk melakukan segala sesuatunya sendiri atau melalui alat komunikasi untuk berinteraksi tanpa harus bertemu dan bertatap langsung.
Contoh kecil saja bisa kita dapatkan misal di kantor, semuanya punya kesibukan diluar pekerjaan mereka, yakni sibuk untuk instagram-an dan facebook-an. Di rumah semuanya sibuk facebook-an dan instagram-an atau twitter-an, di bus orang-orang sibuk, lagi-lagi instagram-an, facebook-an dan twitter-an. Manusia sekarang cenderung tidak peka lagi dengan keadaan di sekitarnya.
Komunikasi dan interaksi sosial dalam sebuah keluarga, lingkungan baik di rumah maupun di kantor terkesan lebih egois dan individualis.
Di rumah si ibu sibuk instagram-an dengan teman-temannya, si ayah sibuk twitter-an dengan kolega-koleganya, si anak sibuk facebook-an dan game onlinenya, sehingga satu sama lain tidak ada komunikasi yang intens.
Tidak ada keterbukaan antara isteri dan suami, ayah atau ibu dan anak, di bus tidak ada yang memperhatikan orang di sampingnya, mereka sibuk bermain gadget sambil tertawa lalu membalas pesan dari teman-temannya.
Tidak lagi melihat apakah orang disampingnya cantik, tampan, jelek, teroris, orang sakit parah sekalipun, yang ada hanya mereka dengan media sosial itu.
Di sisi lain, globalisasi membawa budaya dan nilai-nilai dari berbagai penjuru dunia ke dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini memunculkan keraguan dalam masyarakat tentang identitas budaya, agama, dan moralitas yang telah lama dijaga.
Dengan akses mudah terhadap informasi dari seluruh dunia, individu sering kali merasa kebingungan dalam menentukan nilai-nilai yang harus dipegang teguh, apalagi dalam hal keimanan.