Senada, sejumlah ilmuwan dan mufasir juga memberikan pandangan yang relevan dengan kondisi kekinian, penulis sengaja menyandingkan dua tokoh/Ulama yang cukup fenomenal di kancah global yang menyoal isu-isu penting HAM dan Civil society fokus pada dua tokoh berikut :
a. Prof. Quraish Shihab tentang HAM dalam Al-Qur’an
Sebagai pakar Ilmu Al-Qur’an yang merupakan Guru Besar Ilmu Al Qur’an UIN Syarif Hidayatulloh Jakarta sekaligus mufassir yang sangat mafhum dalam karyanya Tafsir Al Mishbach. Pada banyak forum, ulama yang dikenal dengan penafsirannya yang mendalam terhadap Al-Qur’an secara empiric dan kontekstual menekankan bahwa Al-Qur’an adalah sumber yang sangat relevan dalam membahas isu-isu kemanusiaan.
Dalam berbagai ceramah dan karya-karyanya, seperti “Tafsir al-Mishbah”, beliau menjelaskan bahwa prinsip-prinsip dasar HAM sudah ada dalam Al-Qur’an, meskipun istilah “Hak Asasi Manusia” sendiri tidak ditemukan dalam teks-teks klasik Islam.
Prof. Shihab menjelaskan bahwa hak hidup, hak atas kebebasan, hak atas martabat, dan hak untuk mendapatkan perlakuan adil adalah prinsip-prinsip yang diatur dalam Al-Qur’an. Sebagai contoh, dalam QS. Al-Isra’ ayat 70, Allah SWT menyatakan bahwa manusia diciptakan dalam bentuk yang sebaik-baiknya, yang menunjukkan bahwa setiap individu memiliki martabat yang tidak boleh direndahkan atau diinjak-injak:
“Dan sesungguhnya Kami telah memuliakan anak-anak Adam…” (QS. Al-Isra: 70).
Prof. Shihab juga menyoroti pentingnya prinsip kebebasan dalam Al-Qur’an, seperti yang terkandung dalam ayat tentang kebebasan beragama, yaitu QS. Al-Baqarah: 256 yang menyatakan bahwa “Tidak ada paksaan dalam agama.” Hal ini menegaskan bahwa setiap individu berhak memilih agamanya tanpa takut akan penindasan atau diskriminasi.
Menurutnya , penerapan prinsip-prinsip ini harus diterjemahkan dalam kehidupan sosial, politik, dan hukum dalam masyarakat Islam. Dalam masyarakat yang adil, setiap individu, baik laki-laki maupun perempuan, harus diperlakukan secara setara dan memiliki hak yang sama dalam berbagai bidang kehidupan.
b. Yusuf Al-Qaradawi tentang HAM dalam Al-Qur’an
Yusuf al-Qaradawi, seorang cendekiawan Islam yang popular dengan pemikirinnya yang moderat pada konteks global. Mufassir asal Mesir ini memberikan pandangan penting mengenai HAM dalam perspektif Al-Qur’an. Dalam bukunya yang berjudul “Fiqh al-Awlawiyyat” (Fikih Prioritas), al-Qaradawi menjelaskan bahwa hak-hak dasar yang disebutkan dalam Al-Qur’an tidak hanya mencakup hak-hak pribadi tetapi juga hak-hak sosial dan ekonomi.
Al-Qur’an mengajarkan bahwa setiap individu memiliki hak untuk hidup dalam kebebasan, memperoleh pendidikan, bekerja, serta memiliki hak atas kekayaan pribadi.
Al-Qaradawi sangat menekankan pentingnya hak atas kebebasan berpendapat dan beragama sebagai hak yang sangat dihormati dalam Islam. Ia juga menjelaskan bahwa hak-hak perempuan, sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an, termasuk hak atas pendidikan, hak untuk bekerja, dan hak untuk diperlakukan dengan adil, sangat dihargai. Misalnya, dalam QS. An-Nisa’ ayat 1, Al-Qur’an mengajarkan prinsip kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam kehidupan sosial dan keluarga.
Selain itu, Al-Qaradawi juga menekankan bahwa hak atas keamanan dan perlindungan dari kekerasan adalah bagian yang sangat ditekankan dalam Islam. Dalam konteks internasional, ia seringkali menyuarakan hak-hak kaum tertindas, terutama dalam konflik-konflik yang melibatkan negara-negara Muslim, seperti Palestina, di mana pelanggaran HAM terhadap warga sipil—terutama perempuan dan anak-anak—merupakan kenyataan pahit yang harus dihentikan.
Perbedaan Prinsip HAM Islam dan Barat
Prinsip Hak Asasi Manusia (HAM) dalam pandangan Barat didasarkan pada antroposentrisme, yang menganggap manusia sebagai pusat dari nilai-nilai moral dan hukum. Pemikiran ini berakar dari tradisi sekuler dan filsafat rasionalisme yang berkembang sejak Abad Pencerahan (Enlightenment), yang memandang akal manusia sebagai sumber utama kebenaran dan moralitas.
Pendekatan antroposentris ini juga tercermin dalam dokumen-dokumen internasional seperti Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (UDHR), yang disahkan oleh PBB pada tahun 1948. UDHR menekankan hak-hak dasar yang dimiliki oleh semua individu, terlepas dari latar belakang agama atau keyakinan mereka, dan memberikan prioritas pada kebebasan pribadi serta kesetaraan di hadapan hukum.
Seiring dengan itu, para ilmuwan dan filsuf modern seperti Martha Nussbaum (2000) menyatakan bahwa HAM harus dilihat sebagai hak-hak yang diberikan kepada individu berdasarkan kemampuan rasional manusia untuk menentukan dan memilih apa yang terbaik bagi hidup mereka. Oleh karena itu, dalam pemikiran Barat, standar HAM didasarkan pada prinsip-prinsip yang dapat diakses oleh akal manusia, dengan menekankan kesetaraan, kebebasan, dan hak individu sebagai hak universal yang seharusnya diakui dan dilindungi oleh negara.
Sebaliknya, prinsip HAM dalam Islam berlandaskan pada prinsip teosentrisme, di mana sumber utama hak-hak manusia adalah kehendak dan petunjuk Allah. Dalam pandangan ini, hak-hak manusia bukanlah hasil dari kontrak sosial atau konsensus rasional, melainkan merupakan anugerah yang diberikan oleh Tuhan yang harus dihormati dan dijaga oleh umat manusia. Al-Qur’an dan Hadis adalah dua sumber utama yang mendasari prinsip-prinsip ini. Sebagai contoh, dalam QS. Al-Isra: 70, Allah menyatakan bahwa manusia diciptakan dengan martabat dan kehormatan, dan dengan demikian, hak untuk hidup, kebebasan beragama, dan perlakuan yang adil adalah hak yang diberikan oleh Tuhan.
Ulama seperti Abdul Hamid Abu Sulayman (1988) dan Muhammad al-Ghazali (1989) berpendapat bahwa Islam menempatkan hak-hak manusia dalam kerangka tanggung jawab moral terhadap Tuhan, sehingga setiap tindakan yang mengabaikan hak asasi seseorang dianggap sebagai dosa dalam pandangan Islam.