*) Oleh: Dr. Slamet Muliono Redjosari
Dalam Islam, ‘Abdun, ‘Ibad, dan ‘Abid merupakan tiga kata yang memiliki makna yang berbeda dengan konsekuensi yang berbeda pula.
Ketiganya memiliki arti hamba, yang mengharuskan dirinya untuk tunduk dan patuh pada aturan yang ditetapkan tuannya.
Penggunaan kata ‘abdun akan disandarkan pada sosok Nabi Isa yang dipercayai kaum Nasrani sebagai manusia mengandung unsur ketuhanan.
Padahal beliau sendiri mengatakan secara jelas dan terbuka sebagai seorang hamba (‘abdun) yang melekat karakter sebagai manusia, yakni makan minum, berdoa, dan menjalankan kewajiban sebagai seorang hamba.
Namun pengakuannya itu tidak menghentikan perdebatan tentang dirinya sebagai makhluk yang mengandung unsur ketuhanan sehingga diagungkan dan disembah.
Sementara, dalam Islam, beliau merupakan sosok hamba yang mengabdi kepada Allah dan diberi al-Kitab dengan berbagai kewajiban yang melekat padanya.
‘Abdun dan Penghambaan
Seorang hamba (‘abdun) mengkonsekuensikan dirinya untuk mensahayakan dirinya untuk mengikuti perintah, tanpa memiliki celah untuk melakukan pembangkangan.
Sebagai hamba tidak memiliki peluang dan wewenang apa pun kecuali melaksakan perintah tuannya.
Allah menjelaskan bahwa sosok hamba yang dilekatkan pada apa yang dialami oleh Nabi Muhammad ketika dalam peristiwa isra’ mi’raj.
Sebagai seorang hamba, beliau diperjalankan dimana ruhaninya lebih dominan daripada jasadnya.
Hal inilah yang membuatnya bisa mudah dan cepat mengadakan perjalanan dari masjidil Haram ke masjidil Aqsa hingga menembus langit ke tujuh untuk bertemu Allah.
Al-Qur’an menggambarkannya dengan baik sebagaimana firman-Nya :
سُبۡحَٰنَ ٱلَّذِيٓ أَسۡرَىٰ بِعَبۡدِهِۦ لَيۡلٗا مِّنَ ٱلۡمَسۡجِدِ ٱلۡحَرَامِ إِلَى ٱلۡمَسۡجِدِ ٱلۡأَقۡصَا ٱلَّذِي بَٰرَكۡنَا حَوۡلَهُۥ لِنُرِيَهُۥ مِنۡ ءَايَٰتِنَآ ۚ إِنَّهُۥ هُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلۡبَصِيرُ
“Maha Suci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqṣa yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-‘Isrā : 1)
Dalam konteks yang lain, Allah menggunakan ‘ibad, untuk menggambarkan manusia yang bergelimang dosa.