*) Oleh: Ferry Is Mirza DM
Mengusahakan ibadah-ibadah individual, seperti: salat, berpuasa, melaksanakan ibadah haji, umrah, dan ibadah-ibadah lainnya, tentu akan lebih mudah untuk dilakukan daripada ibadah-ibadah sosial yang erat kaitannya dengan akhlak yang mulia dan perangai yang baik.
Tidak sedikit kita jumpai seseorang yang baik salatnya, rajin bangun di tengah malam, rajin berpuasa, namun ia lupa atau lalai menghiasi dirinya dengan akhlak yang mulia.
Tidak bertegur sapa dengan saudara se-Muslimnya saat bertemu, mudah berbicara kotor, hobi membicarakan kejelekan saudara se-Muslim tanpa sepengetahuannya, dan akhlak-akhlak tidak terpuji lainnya terkadang dijumpai pada seorang pribadi Muslim yang tampak zahirnya saleh.
Saudaraku, akhlak yang baik adalah tujuan utama diutusnya Nabi kita. Akhlak yang baik adalah buah dari amal ibadah yang kita lakukan sehari-hari.
Tidaklah diri kita dikatakan berhasil dan sukses di dalam mengerjakan ibadah, seperti: salat, tahajud, dan lainnya, kecuali apabila memiliki akhlak yang mulia.
Lihatlah apa yang Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam katakan tatkala ada seorang sahabatnya yang bertanya kepadanya:
“Wahai Rasulullah, sesungguhnya ada seorang perempuan yang rajin salat malam, rajin sedekah, dan rajin puasa, namun dia suka menyakiti tetangganya dengan lisannya.” Nabi pun berkomentar, “Sungguh tidak ada kebaikan padanya, dia di neraka.” Para sahabat bertanya lagi, “Ada perempuan yang dikenal hanya melaksanakan salat lima waktu saja (jarang melaksanakan salat sunah) dan dia hanya bersedekah dengan potongan keju, namun dia tidak pernah menyakiti tetangganya.” Rasulullah menjawab, “Dia ahli surga.”(HR. Ahmad 9675 dan Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad 119)
Nabi Diutus untuk Mengajarkan Akhlak yang Mulia
Dahulu kala, orang-orang Jahiliah sebelum diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sangatlah jauh dari akhlak yang baik. Banyak dari mereka yang memiliki akhlak dan perangai yang buruk.
Akhlak terburuk mereka adalah menyekutukan Allah Ta’ala, padahal mereka mengetahui bahwa Allah-lah satu-satunya Zat yang menciptakan mereka.
Mereka pernah mengubur hidup-hidup anak-anak perempuan mereka karena rasa malu dan anggapan bahwa anak perempuan adalah aib bagi kedua orangtuanya.
Mereka juga memiliki kebiasaan mabuk, berbuat zina, meratapi mayit, serta saling mengejek dan mencela.
Oleh sebab itu, di antara perjanjian (baiat) yang Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam berlakukan untuk mereka yang masuk Islam setelah dibukanya kota Makkah adalah meninggalkan perbuatan-perbuatan tersebut.
Hal ini sebagaimana dikisahkan oleh Abdullah bin Amru radhiyallahu ‘anhu:
Umaimah binti Ruqaiqah mendatangi Rasulullah shallallahu alaihi wasallam untuk berbaiat kepada beliau mengenai keislamannya. Maka, beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mengatakan:
“Aku baiat dirimu untuk tidak menyekutukan Allah dengan suatu apa pun, tidak mencuri, tidak berzina, tidak membunuh anak-anak kalian, tidak berbuat dosa yang didatangkan di antara tangan-tangan dan kaki-kaki kalian, tidak meratapi kematian seseorang, dan tidak bersolek serta berhias layaknya kebiasaan orang-orang di awal-awal masa Jahiliah.”(HR. Ahmad 6850)
Di lain kesempatan, Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam juga pernah bersabda:
“Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak.”(HR. Al-Baihaqi 21301 dan Ahmad 8952)
Rasulullah diutus untuk menyempurnakan dan memperbaiki akhlak umat manusia, sekaligus sebagai contoh teladan yang baik dalam hal tersebut. Hal ini seperti firman Allah:
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.”(QS. Al-Ahzab: 21)
Jika kita benar-benar mencintai beliau, benar-benar ingin menjalankan syariat ini secara sempurna, maka tentu harus memiliki akhlak yang mulia, berusaha semaksimal mungkin untuk meneladani beliau dalam bermuamalah dan bergaul dengan orang tua, anak-anak, teman sebaya, dan siapa pun yang hidup bersama kita sehari-hari.