Sejarah gerakan Nasyiatul Aisyiyah mencatat bahwa pada tahun 1920-an, SPW terlibat dalam program anti-analfabetisme atau pengentasan buta huruf yang diinisiasi oleh ‘Aisyiyah.
Usaha pemberantasan buta huruf juga merupakan hasil Kongres Perempuan Indonesia II, yang berlangsung pada 20–24 Juli 1935. Dalam kongres tersebut, setiap anggota memiliki tugas mengajar orang-orang buta huruf. Tahun 1938, SPW mendirikan perpustakaan sebagai sumber informasi bagi remaja putri yang terbatas akses pendidikannya.
Program pemberantasan buta aksara terus dilanjutkan oleh Nasyiatul Aisyiyah setelah memperoleh otonomi pada tahun 1965. Saat itu, pemerintah mengalami keterbatasan dalam mengakomodasi masyarakat yang belum bisa membaca dan menulis.
Oleh sebab itu, Nasyiatul Aisyiyah mengerahkan seluruh pimpinan dan anggotanya untuk menyukseskan program pemberantasan buta huruf.
Bahkan, pada periode 1974–1977, Nasyiatul Aisyiyah memasukkan program ini dalam rencana kerja dengan sebutan “Pemberantasan 3 Buta,” yaitu buta aksara Latin, buta aksara Arab, dan buta agama.
Hingga kini, Nasyiatul Aisyiyah terus mengawal pemberantasan 3 Buta melalui program Rumah Literasi Nasyiatul Aisyiyah (RALINA).
Literasi tidak hanya dimaknai sebagai proses membaca, tetapi juga sebagai internalisasi keputusan yang diambil seseorang atas suatu masalah berdasarkan hasil pembacaannya.
Maka, RALINA tidak hanya menjadi ruang membaca buku, tetapi juga ruang pemberdayaan masyarakat, khususnya perempuan, serta penguatan karakter anak melalui kegiatan literasi yang dikemas dengan nuansa religius.
Hasil Kongres Perempuan Indonesia I lainnya adalah mendirikan studiefonds untuk gadis-gadis yang tidak mampu serta meminta pemerintah memperbanyak sekolah-sekolah putri.
Studiefonds adalah bantuan keuangan atau beasiswa pada tahun 1900–1930-an bagi pelajar pribumi untuk mengatasi hambatan biaya pendidikan. Hal ini memungkinkan siswa menyelesaikan pendidikan mereka.
Situasi ini mendorong Nasyiatul Aisyiyah (SPW) untuk membentuk sekolah berdasarkan usia: Jamiatul Athfal (7–10 tahun), Tajmilul Akhlak (10–15 tahun), dan Tholabus Saadah (15–18 tahun).
Pada kelompok Jamiatul Athfal, pertemuan diadakan dua kali seminggu dengan aktivitas membaca Al-Qur’an, menyanyi, kerajinan tangan, dan olahraga.