Kita juga harus memanfaatkan momen ini untuk menjelaskan kepada teman-teman non-Muslim kita tentang Islam dan pandangan kita tentang Yesus.
Dengan cara yang hormat dan penuh kasih, kita bisa menyampaikan pesan yang benar, tanpa kompromi terhadap iman kita.
Di Indonesia, umat Islam berinteraksi dengan umat Hindu, Kristen, Yahudi, dan berbagai agama tradisional.
Umat Islam hidup berdampingan dengan damai sejak kecil. Kita saling menghormati, dan itulah bagaimana kita membangun hubungan baik.
Namun, di sisi lain, saat Natal tiba, ada juga orang Kristen sendiri tidak percaya atau merayakan Natal.
Mereka memiliki alasan teologis untuk itu. Apakah salah jika mereka tidak merayakan Natal? Tidak. Tetapi ketika mereka mencoba memblokir atau melarang orang lain yang merayakan, barulah itu menjadi masalah.
Sebagai Muslim, kita tidak menghentikan orang lain untuk merayakan apa yang mereka yakini. Yang kita katakan hanyalah, “Anda memiliki keyakinan Anda, dan saya memiliki keyakinan saya.”
Misalnya, umat Hindu mungkin tidak memberi ucapan Selamat Hari Raya Idul Adha kepada Muslim karena, bagi mereka, penyembelihan hewan sapi/lembu adalah sesuatu yang tidak sesuai dengan kepercayaan mereka.
Kita tidak tersinggung karena itu adalah sistem keyakinan mereka, dan kita menghormatinya.
Toleransi berarti membiarkan orang lain menjalankan keyakinan mereka tanpa paksaan. Sama seperti kita tidak berharap mereka mengubah keyakinan mereka, kita juga tidak ingin dipaksa mengikuti kepercayaan atau praktik mereka.
Misalnya, seorang Muslim yang baru masuk Islam dari keluarga Hindu mungkin menolak untuk melakukan ritual pembakaran tubuh saat ayahnya meninggal, karena hal itu bertentangan dengan keyakinannya.