Belakangan ini, sebuah potongan video pendakwah tersebar di media sosial. Ia mengklaim bahwa musibah tidak akan terjadi tanpa persetujuan wali.
Dalam narasi tersebut, dikatakan bahwa sebelum menurunkan bala, Allah akan berkonsultasi dengan seorang kutub, dan hanya dengan persetujuan kutublah musibah itu terjadi.
Pernyataan ini tentu mengundang pertanyaan, apakah klaim tersebut benar dalam perspektif ajaran Islam?
Dalam Al-Quran, kata musibah pada dasarnya berarti sesuatu yang menimpa atau mengenai.
Meskipun secara bahasa dapat mencakup hal yang menyenangkan, dalam konteks al-Quran istilah ini lebih sering merujuk pada sesuatu yang tidak menyenangkan.
Musibah, atau kejadian yang membawa kesulitan, adalah bagian dari takdir Allah. Al-Quran memberikan beberapa prinsip penting mengenai musibah yang perlu direnungkan sebelum mempercayai klaim seperti itu.
Pertama, musibah terjadi akibat ulah manusia sendiri. Al-Qur’an dengan tegas menyebutkan bahwa banyak musibah yang menimpa adalah hasil dari perbuatan manusia. Firman Allah dalam surah asy-Syura (42:30) berbunyi:
وَمَآ اَصَابَكُمْ مِّنْ مُّصِيْبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ اَيْدِيْكُمْ وَيَعْفُوْا عَنْ كَثِيْرٍۗ
“Dan musibah apa pun yang menimpa kamu adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan banyak (dari kesalahan-kesalahanmu).”
Ayat di atas menegaskan bahwa dosa, kesalahan, dan kelalaian manusia sering menjadi penyebab turunnya musibah.
Namun, Allah juga Maha Pengampun, memaafkan sebagian besar kesalahan manusia, sehingga musibah yang turun tidak sepenuhnya mencerminkan seluruh kesalahan manusia.
Kedua, musibah tidak terjadi tanpa izin Allah. Dalam surah at-Taghabun (64:11), Allah menegaskan:
مَآ اَصَابَ مِنْ مُّصِيْبَةٍ اِلَّا بِاِذْنِ اللّٰهِ ۗوَمَنْ يُّؤْمِنْۢ بِاللّٰهِ يَهْدِ قَلْبَهٗ ۗوَاللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ
“Tidak ada sesuatu musibah yang menimpa (seseorang), kecuali dengan izin Allah; dan barangsiapa beriman kepada Allah, niscaya Allah akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”
Ayat di atas memberikan pemahaman bahwa musibah, meskipun berasal dari ulah manusia, tetap terjadi atas kehendak dan izin Allah.
Tidak ada makhluk, termasuk wali atau kutub, yang dapat memberikan atau menahan musibah tanpa kehendak-Nya.
Ketiga, musibah memiliki tujuan mendidik dan menempa manusia. Al-Quran menjelaskan bahwa musibah bukan sekadar hukuman, tetapi juga ujian yang bertujuan untuk memperbaiki manusia. Dalam surah al-Hadid (57:22-23), Allah berfirman:
مَآ اَصَابَ مِنْ مُّصِيْبَةٍ فِى الْاَرْضِ وَلَا فِيْٓ اَنْفُسِكُمْ اِلَّا فِيْ كِتٰبٍ مِّنْ قَبْلِ اَنْ نَّبْرَاَهَا ۗاِنَّ ذٰلِكَ عَلَى اللّٰهِ يَسِيْرٌۖ لِّكَيْلَا تَأْسَوْا عَلٰى مَا فَاتَكُمْ وَلَا تَفْرَحُوْا بِمَآ اٰتٰىكُمْ ۗوَاللّٰهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُوْرٍۙ
“Setiap bencana yang menimpa di bumi dan yang menimpa dirimu sendiri, semuanya telah tertulis dalam Kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami mewujudkannya. Sungguh, yang demikian itu mudah bagi Allah. Agar kamu tidak bersedih hati terhadap apa yang luput dari kamu, dan jangan pula terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong dan membanggakan diri.”
Ayat di atas menunjukkan bahwa musibah adalah bagian dari ketetapan Allah yang sudah tertulis di Lauhul Mahfudz.
Selain itu, musibah bertujuan agar manusia tidak terlalu larut dalam kesedihan atas apa yang hilang dan tidak pula terlalu sombong atas apa yang dimiliki.
Dari pemahaman ini, jelas bahwa musibah adalah bagian dari ketentuan Allah yang tidak memerlukan persetujuan siapa pun, termasuk wali atau kutub.
Tugas manusia adalah mengambil hikmah dari musibah, introspeksi diri, dan memperbaiki hubungan dengan Allah.
Klaim bahwa musibah terjadi atas persetujuan para wali nampaknya tidak memiliki dasar yang kuat dalam ajaran Islam, melainkan cenderung bersifat spekulatif dan dapat menyesatkan. (*)
Sumber: muhammadiyah.or.id
Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News