4. Ketenangan jiwa dengan zikrullah
يٰۤاَ يَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ
“Wahai jiwa yang tenang!”
ارْجِعِيْۤ اِلٰى رَبِّكِ رَا ضِيَةً مَّرْضِيَّةً
“Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang rida dan diridai-Nya.”
فَا دْخُلِيْ فِيْ عِبٰدِى
“Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku,”
وَا دْخُلِيْ جَنَّتِى
“dan masuklah ke dalam surga-Ku.”
(QS. Al-Fajr 89: Ayat 27-30)
5. Tidak saling intervensi tetapi saling menghormati sesama komunitas muslim
وَاِ نَّ هٰذِهٖۤ اُمَّتُكُمْ اُمَّةً وَّا حِدَةً وَّاَنَاۡ رَبُّكُمْ فَا تَّقُوْنِ
“Dan sungguh, (agama tauhid) inilah agama kamu, agama yang satu dan Aku adalah Tuhanmu, maka bertakwalah kepada-Ku.”
فَتَقَطَّعُوْۤا اَمْرَهُمْ بَيْنَهُمْ زُبُرًا ۗ كُلُّ حِزْبٍ بِۢمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُوْنَ
“Kemudian mereka terpecah belah dalam urusan (agama)nya menjadi beberapa golongan. Setiap golongan (merasa) bangga dengan apa yang ada pada mereka (masing-masing).”
(QS. Al-Mu’minun 23: Ayat 52-53)
5. Kajian Tafsir Ibnu Katsir tentang kehidupan yang baik
Al-Baqarah, ayat 200-202:
الآخِرَةِ مِنْ خَلاقٍ (200) وَمِنْهُمْ مَنْ يَقُولُ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ (201) أُولَئِكَ لَهُمْ نَصِيبٌ مِمَّا كَسَبُوا وَاللَّهُ سَرِيعُ الْحِسَابِ (202) }
Apabila kalian telah menyelesaikan ibadah haji kalian, maka berzikirlah dengan menyebut Allah, sebagaimana kalian menyebut-nyebut (membangga-banggakan) nenek moyang kalian, atau (bahkan) berzikirlah lebih banyak dari itu. Maka di antara manusia ada orang yang mendoa, “Ya Tuhan kami, berilah kami (kebaikan) di dunia,” dan tiadalah baginya bagian (yang menyenangkan) di akhirat. Dan di antara mereka ada orang yang mendoa, “Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan perliharalah kami dari siksa neraka.” Mereka itulah orang-orang yang mendapat bagian dari apa yang mereka usahakan; dan Allah sangat cepat perhitungan-Nya.
Allah memerintahkan banyak berzikir kepada-Nya sesudah menunaikan manasik dan merampungkannya.
Firman Allah (Subhanahu wa Ta’ala).:
{كَذِكْرِكُمْ آبَاءَكُمْ}
“Sebagaimana kalian menyebut-nyebut nenek moyang kalian.” (Al-Baqarah: 200)
Para ulama berbeda pendapat mengenai maknanya. Menurut Ibnu Jarir, dari Ata, disebutkan bahwa yang dimaksud ialah seperti ucapan seorang anak kecil kepada ayah dan ibunya. Yakni seperti anak kecil menyebut-nyebut ayah dan ibunya. Dengan kata lain, demikian pula kalian, maka sebut-sebutlah Allah dalam zikir kalian sesudah menunaikan semua manasik.
Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Ad-Dahhak dan Ar-Rabi’ ibnu Anas. Ibnu Jarir meriwayatkan melalui jalur Al-Aufi, dari Ibnu Abbas hal yang semisal.
Sa’id ibnu Jubair meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa orang-orang Jahiliah di masa lalu melakukan wuquf dalam musim haji dan seseorang dari mereka mengatakan bahwa ayahnya dahulu suka memberi makan dan menanggung beban serta menanggung diat orang lain.
Tiada yang mereka sebut-sebut selain dari perbuatan bapak-bapak mereka. Maka Allah (Subhanahu wa Ta’ala) menurunkan firman-Nya kepada Nabi Muhammad (shallallahu ‘alaihi wasallam), yaitu: “Maka berzikiriah dengan menyebut Allah, sebagaimana kalian menyebut-nyebut nenek moyang kalian atau (bahkan) berzikirlah lebih banyak dari itu.” (Al-Baqarah: 200)
Ibnu Abu Hatim mengatakan bahwa As-Saddi meriwayatkan dari Anas ibnu Malik, Abu Wail, dan Ata ibnu Abu Rabbah menurut salah satu pendapatnya, juga Sa’id ibnu Jubair; serta Ikrimah menurut salah satu riwayatnya; juga Mujahid, As-Saddi, Ata Al-Khurrasani, Ar-Rabi’ ibnu Anas, Al-Hasan, Qatadah, Muhammad ibnu Ka’b, dan Muqatil ibnu Hayyan hal yang semisal dengan riwayat di atas. Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, dari Jama’ah.