*) Oleh: Farid Firmansyah, M.Psi,
Anggota Majelis Tabligh PWM Jawa Timur
“Bunuhlah Yusuf atau buanglah dia ke suatu daerah (yang tak dikenal) supaya perhatian ayahmu tertumpah kepadamu saja, dan sesudah itu hendaklah kamu menjadi orang-orang yang baik.” (QS. Yusuf: 9)
Kisah saudara-saudara Nabi Yusuf yang merencanakan kejahatan untuk mendapatkan perhatian ayah mereka, Nabi Ya’qub, mengandung pelajaran psikologis yang mendalam.
Mereka yakin bahwa setelah menyingkirkan Yusuf, mereka dapat memperbaiki hubungan dengan ayah mereka dan menjadi orang-orang yang saleh. Namun, rencana ini justru membawa penderitaan dan penyesalan yang mendalam.
Saudara-saudara Yusuf dipenuhi rasa iri dan cemburu karena Nabi Ya’qub lebih menyayangi Yusuf.
Emosi negatif ini mendorong mereka merencanakan tindakan ekstrem: membunuh atau membuang Yusuf ke tempat yang jauh.
Dalam psikologi, iri hati sering mengaburkan penilaian moral, membuat seseorang membenarkan tindakan salah demi tujuan pribadi.
Yang menarik, saudara-saudara Yusuf berencana menjadi “orang-orang yang baik” setelah menyingkirkan Yusuf.
Fenomena ini dikenal sebagai rasionalisasi—proses di mana seseorang membenarkan tindakan buruk dengan alasan yang tampak logis atau mulia.
Mereka seolah-olah percaya bahwa tujuan akhir yang baik dapat membenarkan cara yang salah, sebuah ilusi moral yang sering menyesatkan.
Alih-alih mencapai kebahagiaan, tindakan mereka membawa kebohongan, kesedihan Nabi Ya’qub, dan rasa bersalah yang mendalam.
Dalam jangka panjang, rasa bersalah ini berpotensi menyebabkan stres psikologis dan mengganggu kesejahteraan mental mereka.
Dalam psikologi modern, fenomena ini dapat dikaitkan dengan disonansi kognitif—ketegangan mental yang muncul ketika tindakan seseorang bertentangan dengan nilai moral yang mereka yakini.
Untuk mengurangi ketegangan ini, seseorang sering mencari pembenaran atas tindakan mereka. Namun, pembenaran seperti itu jarang membawa kedamaian batin dan justru memperburuk konflik internal.
Kisah ini mengajarkan bahwa tindakan tidak etis, meskipun bertujuan untuk kebaikan, tidak dapat dibenarkan. Dalam psikologi moral, kebaikan sejati tidak dapat dicapai melalui cara yang salah.
Selain itu, tindakan amoral sering kali membawa konsekuensi negatif, baik secara eksternal maupun internal, termasuk kerusakan hubungan interpersonal dan konflik batin.
Dari perspektif psikologis, penting untuk mengelola emosi negatif seperti iri hati dan mempertahankan integritas moral.
Kisah saudara-saudara Yusuf mengingatkan kita bahwa tindakan yang salah tidak akan menghasilkan kebahagiaan sejati, tetapi justru membawa dampak buruk bagi diri sendiri dan orang lain.
Pesan abadi dari kisah ini adalah pentingnya menjaga nilai moral dan tidak membiarkan emosi negatif menguasai diri.
Dalam perjalanan hidup, integritas dan kebaikan adalah landasan yang membawa kedamaian sejati. (*)
Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News