Pemerintah Indonesia optimistis dengan gagasan ekonomi baru pasca pandemi covid-19. Hal itu sesuai visi agenda pembangunan berkelanjutan (SDG’s) 2030.
Namun begitu, pemerintah juga harus memiliki kebijakan ekonomi yang lebih progresif dan berpihak secara serius kepada kelompok ekonomi mikro. Hal ini agar selaras dengan semangat dalam Pasal 33 UUD 1945.
Kepentingan masyarakat Indonesia yang teruji saat melewati berbagai krisis, termasuk pandemi kemarin,tidak boleh dibiarkan begitu saja. Harus dikapitalisasi dan dilindungi ketika bersaing dengan pasar bebas.
Harus dikapitalisasi menjadi ekonomi produktif dan jangan sampai mereka menghadapi arus besar lewat kapital dan investasi yang tidak terkontrol, termasuk impor dari lingkaran mafia yang tidak mudah diberantas.
Maka, berangkat dari dasar kebijakan new economy policy itu yang kita harapkan bergerak lebih maju dan progresif lagi karena memang pondasinya sudah bagus.
Muhammadiyah berharap pemerintah lebih maju karena Indonesia punya potensi besar sebagai negara besar.
Karena itu, untuk menghadapi tekanan ekspansi dari tingkat global, kita punya inner dynamic yang kuat dan kuncinya bukan pada policy economy, tapi pada political will-nya.
Pemerintah juga harus memiliki kebijakan afirmatif atau political will dalam mengejawantahkan kebijakan yang sesuai semangat Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
Utamanya dalam mengakomodasi jiwa dari Pasal 23 tentang APBN, Pasal 27 tentang Lapangan Pekerjaan, Pasal 28 tentang Pemenuhan Kebutuhan Dasar, Pasal 31 tentang Pendidikan, Pasal 33 tentang Ekonomi dan, Pasal 34 tentang Fakir Miskin.
Kalau kita punya political will yang bagus dan kuat, undang saja praktisi dan ekonom, bagaimana enam pasal ini direkonstruksi menjadi policy strategis termasuk bagi Indonesia Emas di bidang ekonomi.
Sebaliknya jangan biarkan pasal-pasal itu terkelupas begitu saja, agar kita punya komitmen kuat membangun Indonesia secara bersama.
Di sisi lain, masalah penting lain adalah soal utang luar negeri Indonesia yang terus berakumulasi.
Utang ini akan menjadi beban dan pengganjal bagi usaha-usaha Indonesia mewujudkan masa depan nasional yang unggul.
Beberapa ahli bahkan telah menyebut bahwa akumulasi utang luar negeri Indonesia saat ini mencapai angka Rp 7.000 triliun.
Karena kalau satu fase pemerintahan berutang dan terakumulasi, suatu saat Indonesia menjadi negara gharim alias tangan di bawah.
Kemudian tutup lubang ganti lubang, akhirnya berubah menjadi mustahik, berhak memperoleh zakat dan sedakah dari negara yang kaya.
Jadi, ada pertanggungjawaban moral pemerintah, bukan soal aman dan tidak aman.
Dalam konteks ini, Muhammadiyah mengusulkan agar negara menetapkan ambang batas utang luar negeri pada setiap masa pemerintahan.
Utamanya agar proyeksi menjadi negara yang maju dan berdaulat tidak kemudian terseok karena akibat kebijakan pemerintah sendiri.
Terakhir, utang harus ada ambang batas, jangan sampai nanti melebihi takaran yang kemudian berat.
Kedua, ada proyek-proyek nasional yang semula aman kemudian menjadi beban baru,” tegasnya. (*)
(Disampaikan Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof Haedar Nashir dalam gelar wicara Gagas RI Kompas Gramedia Media)