Alquran merekam janji manusia untuk mentauhidkan Allah dan akan menjadi manusia yang bersyukur.
Manusia berjanji akan berbuat baik ketika situasi terdesak dan tidak ada pihak mana pun tak mampu membantunya. Ketika Yang diseru memberikan pertolongan.
Situasi menjadi normal dan keadaan nyaman, maka manusia lupa terhadap janji profetik itu.
Bahkan manusia kembali melakukan kemaksiatan yang dulu pernah dilakukan tanpa ingat lagi terhadap Penolong yang pernah membebaskan dirinya dari musibah yang pernah dialaminya.
Mereka bukan hanya melupakan Allah, tetapi justru mencari tandingan Allah. Mereka benar-benar tidak ingat lagi pertolongan Allah yang datang pada saat terdesak dan menghadapi masalah besar dan pelik.
Berharap Anak Saleh
Manusia pada umumnya ingat kepada Allah ketika dalam situasi terdesak dan membutuhkan bantuan.
Dan ketika situasi normal dan keadaan nyaman, manusia tidak lagi membutuhkan atau ingat kepada Allah yang pernah memberikan pertolongan.
Alquran pun menarasikan kedekatan manusia hingga minta dengan bersungguh-sungguh kepada Allah.
Ketika istri dalam keadaan mengandung, sepasang suami istri begitu dekat hingga berdoa dengan sungguh-sungguh kepada Allah.
Mereka berdua berharap penuh dan tulus ikhlas agar mendapati anaknya bisa menjadi anak yang baik.
Berikut narasi Alquran tentang hal ini:
هُوَ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ مِّنْ نَّـفْسٍ وَّا حِدَةٍ وَّجَعَلَ مِنْهَا زَوْجَهَا لِيَسْكُنَ اِلَيْهَا ۚ فَلَمَّا تَغَشّٰٮهَا حَمَلَتْ حَمْلًا خَفِيْفًا فَمَرَّتْ بِهٖ ۚ فَلَمَّاۤ اَثْقَلَتْ دَّعَوَا اللّٰهَ رَبَّهُمَا لَئِنْ اٰتَيْتَـنَا صَا لِحًا لَّـنَكُوْنَنَّ مِنَ الشّٰكِرِيْنَ
“Dialah yang menciptakan kamu dari jiwa yang satu (Adam) dan darinya Dia menciptakan pasangannya, agar dia merasa senang kepadanya. Maka setelah dicampurinya, (istrinya) mengandung kandungan yang ringan, dan teruslah dia merasa ringan (beberapa waktu).
Kemudian ketika dia merasa berat, keduanya (suami-istri) bermohon kepada Allah, Tuhan mereka (seraya berkata), “Jika Engkau memberi kami anak yang saleh, tentulah kami akan selalu bersyukur.” (QS. Al-A’raf : 189)
Sepasang suami istri itu berjanji dengan sungguh-sungguh, apabila bayi yang dikandungnya selamat, mereka akan menjadi hamba yang tahu diri dan bersyukur.
Hal ini karena bantuan dan pertolongan Allah. Dalam situasi seperti ini, maka suami istri sering berdoa, dan melakukan amal kebaikan. Bisa jadi, kuantitasnya shalatnya bertambah dan ritual ibadahnya semakin khusyuk.
Doa sepasang suami istri itu dipanjatkan dengan ikhlas dan penuh harap. Hati mereka berubah menjadi lembut dan mudah menangis dengan harapan bantuan Allah untuk menjadikan anaknya lahir dengan normal dan dalam keadaan sehat.
Allah pun merekam hal itu. Namun ketika mereka diberikan anak yang sehat, pertumbuhannya baik baik dan menjadi anak yang pintar, maka perilaku buruknya justru muncul.
Bukannya bersyukur kepada Allah, mereka justru melupakan keagungan serta tidak berterima kasih kepada Allah.
Mereka justru mengakui ada kekuatan lain selain Allah. Mereka menganggap bahwa kelancaran atas kelahiran anaknya, serta kesehatan dan kepintarannya karena jerih payahnya.
Mereka melupakan Allah serta tidak mengingat lagi karunia dan Rahmat Allah dahulu istrinya dalam keadaan lemah saat mengandung.
Hal ini sebagaimana dinarasikan dalam Alquran sebagai berikut:
فَلَمَّاۤ اٰتٰٮهُمَا صَا لِحًـا جَعَلَا لَهٗ شُرَكَآءَ فِيْمَاۤ اٰتٰٮهُمَا ۚ فَتَعٰلَى اللّٰهُ عَمَّا يُشْرِكُوْنَ
“Maka, setelah Dia memberi keduanya seorang anak yang saleh, mereka menjadikan sekutu bagi Allah terhadap anak yang telah dianugerahkan-Nya itu. Maka, Maha Tinggi Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (QS. Al-A’raf : 190)
Ketika Badai Ombak
Manusia diberikan karunia untuk bisa berjalan di daratan dan berlayar di lautan.
Allah memberikan karunia besar ketika manusia bisa mengarungi laut dengan kapal. Manusia bisa mengarungi laut dengan leluasa dan menjelajah dunia.
Allah pun mengirim angin dengan tiupan yang baik dan menyenangkan. Mereka pun bergembira dan perjalanan lautnya diiringi dengan menyanyi, hingga melakukan kemaksiatan terhadap Sang penguasa angin.
Situasi yang demikian, Allah pun membiarkan ombak mengguncang kapal. Angin benar-benar membawa kapal ke arah yang tidak menentu.
Ombak pun hampir menenggelamkan kapal beserta penumpangnya. Dalam keadaan seperti ini seluruh manusia yang berada di kapal berdoa dengan sungguh-sungguh.
Mereka menghentikan kegembiraan yang disertai maksiat selama perjalanan. Hati mereka benar-benar kompak menyerahkan urusan kepada Allah.
Saat itu hati-hati mereka tunduk patuh dan menyerahkan sepenuhnya dan memohon bantuan Allah secara total.
Allah menggambarkan hal itu sebagaimana firman-Nya:
هُوَ الَّذِيْ يُسَيِّرُكُمْ فِى الْبَرِّ وَا لْبَحْرِ ۗ حَتّٰۤى اِذَا كُنْتُمْ فِى الْفُلْكِ ۚ وَ جَرَيْنَ بِهِمْ بِرِيْحٍ طَيِّبَةٍ وَّفَرِحُوْا بِهَا جَآءَتْهَا رِيْحٌ عَا صِفٌ وَّجَآءَهُمُ الْمَوْجُ مِنْ كُلِّ مَكَا نٍ وَّظَنُّوْۤا اَنَّهُمْ اُحِيْطَ بِهِمْ ۙ دَعَوُا اللّٰهَ مُخْلِصِيْنَ لَـهُ الدِّيْنَ ۙ لَئِنْ اَنْجَيْتَـنَا مِنْ هٰذِهٖ لَنَكُوْنَنَّ مِنَ الشّٰكِرِيْنَ
“Dialah Tuhan yang menjadikan kamu dapat berjalan di daratan (dan berlayar) di lautan. Sehingga ketika kamu berada di dalam kapal, dan meluncurlah (kapal) itu membawa mereka (orang-orang yang ada di dalamnya) dengan tiupan angin yang baik, dan mereka bergembira karenanya;
tiba-tiba datanglah badai dan gelombang menimpanya dari segenap penjuru, dan mereka mengira telah terkepung (bahaya), maka mereka berdoa dengan tulus ikhlas kepada Allah semata (seraya berkata),
“Sekiranya Engkau menyelamatkan kami dari (bahaya) ini, pasti kami termasuk orang-orang yang bersyukur.” (QS. Yunus : 22)
Sebagaimana biasanya, ketika pertolongan Allah datang. Angin menjadi stabil dan reda. Ombak menjadi landau dan terkendali. Seluruh awak kapal diselamatkan Allah, hingga mereka bisa menikmati hawa kebebasan dari keterancaman dan hilangnya nyawa.
Pikirannya kembali tidak normal, hatinya lalai dari Allah yang sebelumnya dipanggil-panggil penuh harap. Mereka menjadi ingkar dan justru kembali berbuat zalim yang akan menimpa dirinya.
Hal ini dinarasikan Alquran dengan baik sebagaimana firman-Nya:
فَلَمَّاۤ اَنْجٰٮهُمْ اِذَا هُمْ يَبْغُوْنَ فِى الْاَ رْضِ بِغَيْرِ الْحَـقِّ ۗ يٰۤـاَ يُّهَا النَّا سُ اِنَّمَا بَغْيُكُمْ عَلٰۤى اَنْفُسِكُمْ ۙ مَّتَا عَ الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا ۖ ثُمَّ اِلَـيْنَا مَرْجِعُكُمْ فَنُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَ
“Tetapi ketika Allah menyelamatkan mereka, malah mereka berbuat kezaliman di Bumi tanpa (alasan) yang benar. Wahai manusia!
Sesungguhnya kezalimanmu bahayanya akan menimpa dirimu sendiri; itu hanya kenikmatan hidup duniawi, selanjutnya kepada Kamilah kembalimu, kelak akan Kami kabarkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. Yunus : 23)
Itulah rekam jejak manusia yang seringkali melupakan janji profetik. Manusia hanya dekat kepada Tuhan ketika dalam keadaan terdesak diliputi musibah dan bencana yang mengancam nyawanya.
Namun begitu bebas dari musibah dah hidup dalam suasana tenang dan aman, manusia kembali kepada tabiatnya.
Manusia melupakan janji profetik sebagaimana yang pernah diikrarkan kepada Allah. Ketika melupakan janji profetik, manusia berani secara terang-terangan berbuat maksiat dan kerusakan. (*)