Berbisnis Sekaligus Beramal
.foto: urj.org
UM Surabaya

Suatu sore, saya terlibat perbincangan santai dengan beberapa pengusaha. Aktivitas yang acap kali kami lakukan, terutama di akhir pekan.

Dalam perbincangan, ada lontaran menggelitik dari pengusaha yang tinggal di Jakarta.

Dia bilang begini, “Keberhasilan bisnis itu datangnya paling besar dari sentuhan di sana.” Tangannya lalu menunjuk langit.

Kata dia, manusia takkan bisa menjamah kapan datangnya rezeki. Meski, ia tahu secara kalkulatif akan mendapat keuntungan.

Makanya, saran dia, di samping berusaha sebaiknya memperbesar kegiatan filantropi.

Bertindak mencintai sesama manusia. Yang rela menyumbangkan waktu, uang, dan tenaganya buat menolong orang lain. Singkat kata: suka beramal.

Masih kata dia. Menghitung hasil bisnis bukan seperti matematika. Banyak faktor yang mempengaruhi.

Bisnis yang sukses adalah bisnis yang menemukan keseimbangan antara tanggung jawab ekonomi, sosial, dan lingkungan dalam setiap aktivitasnya.

Lontaran pengusaha muda itu memantik respons dari rekan bisnisnya. Salah seorang berpendapat, usaha dan kerja keraslah penyebab kesuksesan.

Seperti lazimnya diktum yang diyakini banyak orang: hasil tak pernah mengkhianati usaha. Makin besar usaha, makin besar peluang dan keuntungan yang bakal direnggut.

Makin besar potensi kemalasan, makin kecil raihan yang didapat. “Bagaimana bisa membantu orang jika urusan perutnya sendiri belum beres,” sanggahnya.

Dua sudut pandang itu jadi topik diskusi yang gayeng. Namun keduanya pun sepakat pada satu polarisasi: jika bekerja keras wajib.

Karena hal itu bagian dari ikhtiar. Soal hasilnya, sandarkanlah kepada Sang Pencipta.

“Dan Katakanlah: “Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. surah At-Taubah: 105)

***

Kita mungkin pernah membaca kisah Abdurrahman bin Auf. Saudagar yang kaya raya. Yang ingin menjadi orang miskin namun selalu gagal.

Abdurrahman bin Auf dikenal sebagai sahabat nabi yang dermawan. Sangat gemar sedekah. Kebiasaannya itu dilakukan karena dirinya khawatir akan memasuki surga paling terakhir.

Suatu ketika Rasulullah saw berkata, Abdurrahman bin Auf akan masuk surga terakhir karena terlalu kaya, sehingga dihisabnya paling lama.

Mendengar hal itu, Abdurrahman bin Auf berpikir keras, bagaimana caranya agar ia kembali menjadi miskin supaya dapat memasuki surga lebih awal.

Karena rasa khawatir itu, Abdurrahman bin Auf pernah menyerahkan separo hartanya pada zaman nabi.

Dia juga memberikan 200 uqiyah emas (1 uqiyah setara dengan kurang lebih 31 gram) untuk memenuhi kebutuhan logistik selama Perang Tabuk.

Pada Perang Badar, Abdurrahman bin Auf memberikan santunan 400 dinar kepada masing-masing veteran. Abdurrahman bin Auf juga menyumbangkan 40.000 dinar, 500 ekor kuda, dan 1.500 unta untuk para pejuang

Banyak orang kaya masa kini juga tak pernah melewatkan kegiatan beramal. Mark Zuckerberg, pemilik Facebook, salah satunya. Di usia muda dia sangat tajir.

Tahun 2016, Mark mendermakan kekayaannya USD 45 miliar atau setara Rp 618 triliun untuk kepentingan sosial.

Bahkan, pasca kelahiran anak pertamanya, Mark juga berkeinginan mewakafkan 99 persen sahamnya melalui yayasan yang dibentuknya, Chan Zuckerberg Initiatives.

Keputusan Mark Zuckerberg sepertinya juga mengikuti ara miliarder yang lebih dulu mewakafkan kekayaannya untuk aktivitas kemanusiaan.

Seperti Warren Buffett, yang mengumumkan menyumbangkan sekitar USD 3,6 miliar saham perusahaan untuk lima badan amal. Dia menulis, “Janji saya: Lebih dari 99% kekayaan saya akan disumbangkan untuk filantropi selama saya hidup atau mati.

Bill Gates telah menyumbang sebesar USD 27 miliar (Rp 378 triliun) bersama sang istri, Melinda. Pasangan ini mendirikan Bill dan Melinda Gates Foundation, sebagai sarana amal.

Bill dan Melinda Gates Foundation adalah badan amal yang bergerak mengubah hidup melalui setiap aktivitas manusia dari menyelamatkan iklim, membasmi epidemi, memberikan makanan murah dan obat-obatan di semua benua.

***

Saya teringat pengalaman seorang kawan. Namanya, Basuki Subianto. Ia pengusaha properti. Mengembangkan bisnis di Surabaya dan Sidoarjo.

Basuki adalah mantan jurnalis koran terbesar di Indonesia. Dia memutuskan meninggalkan profesi yang ditekuni belasan tahun dan terjun ke bisnis properti.

Pengalaman? Gak ada sama sekali. Paling banyak mungkin membaca buku-buku motivasi bisnis.

Basuki mengandalkan modal relasi yang dikenal selama 17 tahun jadi jurnalis. Juga sedikit modal dari pesangon setelah dia pensiun dini.

Basuki sadar, keputusannya mundur dari perusahaan surat kabar itu sangat berisiko. Sebab, ia harus rela kehilangan take home pay Rp 17 juta sebulan atau Rp 204 juta per tahun.

Sebaliknya, ia dapat uang pensiun hampir Rp 400 juta. Dari uang pensiun itu, ia sisihkan untuk dizakatkan dan disedekahkan.

Lantas, kenapa nekat memilih pensiun? Dia mengaku tertantang untuk membuktikan jika tidak ada yang tidak mungkin di dunia.

Pada akhirnya, dia pun seperti telah memasuki pintu yang benar dalam perjalanan di ruang uji nyali.

Kebulatan hati itulah membuat Basuki mantap melangkah. Dia punya gagasan mengakuisisi sebuah perusahaan real estate di Surabaya. Sebelumnya, Basuki beristikharah.

Intinya ia meminta bila diridai bisa dimudahkan menangani perusahaan. Akan tetapi bila tidak, ia minta dijauhkan.

Perusahaan itu punya izin mengelola tanah seluas 73 hektar, tapi baru dibuat site plan-nya seluas 15 hektar. Tanah yang dibebaskan sekitar 4 hektar. Hampir setahun gak terurus. Padahal, sudah ada 120 rumah yang terbangun.

Pemilik sebelumnya orang Jakarta. Hanya sempat mengelola dua bulan. Kemudian ditinggal pergi, karena perusahaan ini ternyata punya persoalan cukup rumit.

Ceritanya, sekitar tahun 1985, tanah itu sudah dijual oleh pemiliknya dalam bentuk tanah kavling. Masing-masing seluas 200 meter persegi.

Pada 1998, seorang pengusaha mengajukan izin prinsip ke Pemerintah Daerah Kota Surabaya (sekarang Pemkot Surabaya) sekaligus site plan-nya.

Setiap pemilik kavling bisa mengambil rumah dengan tambahan biaya. Masyarakat umum juga boleh membeli.

Namun, karena site plan dari Pemkot Surabaya dengan site plan tidak resmi yang dibuat pengavling dulu tak sama, terjadilah tumpang tindih. Dan site plan pemkot yang diberlakukan.

Penjualan rumah laris manis. Karena harganya miring. Namun, langkah pengusaha kurang beres. Dana yang masuk sebagian besar tidak digunakan untuk membeli tanah dan membangun rumah, melainkan untuk kegiatan lain.

Singkat cerita, banyak tanah belum dibebaskan tapi sudah dibangun rumah. Celakanya lagi, sebagian kontraktor tak tidak dibayar. Total utang perusahaan itu sekitar Rp 11 miliar.

Basuki tahu detail persoalan itu dan akan mengakuisisinya. Dia lalu berkonsultasi dengan para pengembang sukses dan pejabat Badan Pertanahan Negara (BPN).

Semua menyarankan Basuki tak mengambil risiko berbisnis perusahaan bermasalah itu.

Basuki merenung, apa mungkin? Keputusan bulat, Basuki mengambil risiko tetap mengakuisisi perusahaan itu!

Pelan tapi pasti, dia membenahi manajemen perusahaan. Tak mulus, tentunya. Karena Basuki menuai banyak tuntutan dari para user yang telah membayar uang cicilan.

Basuki mencoba bersabar. Utang yang semula Rp 11 miliar itu akhirnya tertutupi dari pendapatan sebesar Rp 9 miliar. Itu artinya, tiap bulan Basuki untung Rp 2 miliar.

Dari mana? Ya dari jual beli tanah. Semisal ada tanah yang dijual seharga Rp 60 juta, ia membelinya. Lantas tanah itu ia jual lagi Rp 90 juta. Saya untung Rp 30 juta. Itu terjadi berulang kali.

Perusahaan yang dipimpinnya mulai “menyala”. Ada hasil yang bisa dipakai memenuhi kebutuhan operasional dan gaji karyawan. Juga untuk nyicil tanggungan yang menjadi beban masa lalu perusahaan.

Basuki sendiri tak pernah tahu dari mana datangnya rezeki yang diperoleh. Berikut petunjuk kemudahan menangani perusahaan bermasalah.

Sebagai muslim, dia yakin ada campur tangan Sang Khalik di setiap rezeki yang diperoleh. Seperti tersebut dalam Alquran Surat At-Talaq ayat 2-3:

“Barang siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya diberi-Nya kelapangan dan diberi-Nya rezeki yang tidak diduga-duga. Siapa yang bertawakkal kepada Allah, niscaya dijamin-Nya, sesungguhnya Allah sangat tegas dalam perintah-Nya dan Dialah yang mentakdirkan segala sesuatu.” (*)

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini