Nabi Ibrahim menerima perintah berkurban berawal dari mimpi yang menyembelih putra tercintanya. Mimpi merupakan perintah secara langsung dari Allah untuk menjalankan syariatnya.
Penyembelihan putra tercintanya merupakan bentuk ujian padanya sekaligus sebagai bukti atas penghambaan yang tulus-ikhlas. Inilah yang disebut mimpi profetik, karena berkurban dilakukan untuk mewujudkan refleksi pengagungan kepada Allah.
Berkurban merupakan bentuk pengagungan seorang hamba kepada Allah dengan mengorbankan apa yang dimiliki dan dicintai untuk dipersembahkan kepada-Nya.
Bentuk penghambaan itu dibuktikan dengan memberikan karunia yang didianugerahkan kepadanya untuk diberikan kepada orang lain.
Ujian Berat
Alquran mengapresiasi Nabi Ibrahim sebagai sosok yang lolos dari berbagai macam cobaan berat. Dalam berbagai ujian itu, Nabi Ibrahim berhasil menyelesaikannya dengan sempurna.
Ketika menjadi pemuda, Nabi Ibrahim diperintahkan untuk menyampaikan dakwah tauhid dengan mengajak orang tuanya. Bahkan dia juga berdakwah dengan mengajak masyarakat hingga raja yang zalim saat itu, Namrud.
Atas dakwah itu, Nabi Ibrahim mengalami ancaman berupa pengusiran hingga pemusnahan berupa pembakaran.
Dalam pernikahannya, Nabi Ibrahim juga tak segera dikaruniai anak dalam waktu yang cukup lama.
Namun ketika lahir anak semata wayangnya, beliau diperintahkan untuk meninggalkan istri dan anaknya.
Beliau pun berhasil melaksanakan tugas dengan meninggalkan keduanya di tanah yang tandus dan gersang tanpa ada kehidupan di sekelilingnya. Beliau pun berhasil melaksanakan perintah itu.
Tak lama kemudian, ketika anaknya beranjak remaja dan Nabi Ibrahim sangat membanggakannya. Tak berama lama, Nabi Ibrahim pun menerima perintah baru, dan perintah itu sangat berat.
Dikatakan berat, karena anak yang ditunggu-tunggu hingga masa remaja justri diperintahkan untuk menyembelihnya.
Beliau bermimpi menyembelih putra kesayangannya. Karena penghambaan yang penuh kepada Allah, Nabi Ibrahim pun lulus dalam menjalankan perintah itu.
Lulusnya berbagai ujian berat itu membuat Allah memberi penghargaan agung kepadanya. Allah memberi penghargaan berupa pujian agung hingga hingga disebut sebagai bapak para nabi.
Hal itu ditegaskan Allah sebagaimana firman-Nya:
وَاِ ذِ ابْتَلٰۤى اِبْرٰهٖمَ رَبُّهٗ بِكَلِمٰتٍ فَاَ تَمَّهُنَّ ۗ قَا لَ اِنِّيْ جَا عِلُكَ لِلنَّا سِ اِمَا مًا ۗ قَا لَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِيْ ۗ قَا لَ لَا يَنَا لُ عَهْدِى الظّٰلِمِيْنَ
“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat, lalu dia melaksanakannya dengan sempurna. Dia (Allah) berfirman, “Sesungguhnya Aku menjadikan engkau sebagai pemimpin bagi seluruh manusia.”
Dia (Ibrahim) berkata, “Dan (juga) dari anak cucuku?” Allah berfirman, “(Benar, tetapi) janji-Ku tidak berlaku bagi orang-orang zalim.” (QS. Al-Baqarah : 124)
Ketika diberi gelar kemuliaan Allah, Nabi Ibrahim masih bercita-cita agung, dan meminta kepada-Nya agar anak keturunannya diberikan keagungan pula.
Nabi Ibrahim meminta kepada anak cucunya agar dibebaskan dari perbuatan dzalim. Hal ini terekam dengan baik sebagaimana firman-Nya :
رَبَّنَا وَا جْعَلْنَا مُسْلِمَيْنِ لَـكَ وَ مِنْ ذُرِّيَّتِنَاۤ اُمَّةً مُّسْلِمَةً لَّكَ ۖ وَاَ رِنَا مَنَا سِكَنَا وَتُبْ عَلَيْنَا ۚ اِنَّكَ اَنْتَ التَّوَّا بُ الرَّحِيْمُ
“Ya Tuhan kami, jadikanlah kami orang yang berserah diri kepada-Mu, dan anak-cucu kami (juga) umat yang berserah diri kepada-Mu dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara melakukan ibadah (haji) kami dan terimalah tobat kami.
Sungguh, Engkaulah Yang Maha Penerima Tobat, Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah 2: Ayat 128)
Nabi Ibrahim menginginkan anak cucunya agar menjadi hamba yang berserah diri kepada Allah secara totalitas.
Dikatakan totalitas karena Nabi Ibrahim tahu diri bahwa hanya kepada Allah saja yang pantas untuk dipertuhankan.
Manusia pantas untuk menghambakan diri kepada Allah tanpa mempersekutukan dengan yang lain.
Apa yang dilakukan Nabi Ibrahim merupakan contoh sekaligus teladan bagi mereka yang ingin mendapatkan kedudukan tinggi di sisi Allah.
Banyak manusia melakukan penghambaan untuk mendekatkan diri kepada Allah, namun tidak melalui apa yang diperintahkan-Nya.
Kalau Nabi Ibrahim mempersembahkan karunia yang diperoleh untuk menghambakan dirinya kepada Allah, Alquran mengidentifikasi adanya manusia yang mempersembahkan karunia yang diperolehnya justru kepada tuhan lain.
Mereka tidak sadar bahwa karunia yang diperolehnya berasal dari Allah, dan seharusnya dipersembahkan kepada Allah.
Namun mereka berkreasi sendiri dengan mempersembahkan apa yang dimilikinya diperuntukkan kepada kekuatan lain. Mereka mengira bukan hanya Allah saja yang memiliki kekuatan, tetapi ada pihak lain.
Alquran mengabadikan hal itu sebagaimana firman-Nya:
وَيَجْعَلُوْنَ لِمَا لَا يَعْلَمُوْنَ نَصِيْبًا مِّمَّا رَزَقْنٰهُمْ ۗ تَا للّٰهِ لَـتُسْـئَلُنَّ عَمَّا كُنْتُمْ تَفْتَرُوْنَ
“Dan mereka menyediakan sebagian dari rezeki yang telah Kami berikan kepada mereka, untuk berhala-berhala yang mereka tidak mengetahui (kekuasaannya). Demi Allah, kamu pasti akan ditanyai tentang apa yang telah kamu ada-adakan.” (QS. An-Nahl : 56)
Tidak sedikit manusia yang beranggapan bahwa dirinya mendapatkan sesuatu karena andil yang diberikan oleh kekuatan yang ada di alam semesta ini.
Oleh karenanya, banyak manusia yang menyembah berhala dengan anggapan bahwa berhala-berhala itu memiliki kekuatan dan memberi jaminan hiduo kepadanya.
Nabi Ibrahim merupakan contoh generasi emas yang menghambakan diri hanya kepada Allah. Mimpi menyembelih putranya merupakan mimpi profetik, yang wajib dilaksanakan.
Nabi Ibrahim menunaikan perintah itu secara tulus ikhlas tanpa tekanan dan ancaman. Keikhlasan dalam menyelesaikan perintah menjadikan Nabi Ibrahim ditetapkan sebagai hamba yang bertauhid, termasuk sebagai bapak para nabi. (*)
Baca juga : Nabi Ibrahim dan Penghambaan Profetik (2)