Buah dari ketaatan dan kemaksiatan bisa dilihat secara umumnya, yakni menjalankan perintah lebih utama dibandingkan menjauhi larangan.
Pahala menjalankan perintah lebih besar dibandingkan pahala menjauhi larangan, dan dosa tidak menjalankan perintah lebih besar dibandingkan dosa akibat menjalankan larangan.
Walaupun perintah dan larangan itu bertingkat-tingkat, pada sebagian larangan ada yang kadarnya lebih tinggi dibandingkan kadar perintah.
Contohnya menjauhi perbuatan zina lebih besar kadar pahalanya dibandingkan menjalankan perintah melakukan qiyamul lail.
Kaidah ini dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fataawa, beliau menyatakan:
أَنَّ جِنْسَ فِعْلِ الْمَأْمُوْرِ بِهِ أَعْظَمُ مِنْ جِنْسِ تَرْكِ الْمَنْهِيِّ عَنْهُ وَأَنَّ جِنْسَ تَرْكِ الْمَأْمُوْرِ بِهِ أَعْظَمُ مِنْ جِنْسِ فِعْلِ الْمَنْهِيِّ عَنْهُ وَأَنَّ مَثُوْبَةَ بَنِيْ آدَمَ عَلَى أَدَاءِ الْوَاجِبَاتِ أَعْظَمُ مِنْ مَثُوْبَتِهِمْ عَلَى تَرْكِ الْمُحَرَّمَاتِ وَأَنَّ عُقُوْبَتَهُمْ عَلَى تَرْكِ الْوَاجِبَاتِ أَعْظَمُ مِنْ عُقُوْبَتِهِمْ عَلَى فِعْلِ الْمُحَرَّمَاتِ
“Jenis mengerjakan hal yang diperintahkan lebih agung dibandingkan jenis meninggalkan hal yang dilarang, dan jenis meninggalkan hal yang diperintahkan lebih besar dibandingkan jenis mengerjakan hal yang dilarang.
Pahala anak Adam yang mengerjakan kewajiban lebih besar dibandingkan pahala meninggalkan hal yang diharamkan. Akibat (dosa) karena meninggalkan kewajiban lebih besar dibandingkan mengerjakan hal yang diharamkan.” (Majmu’ Fatawaa ibn Taimiyah, 20/85)
Selanjutnya beliau menjelaskan kaidah itu dengan menyatakan bahwa ilmu dan niat itu terkait dengan sesuatu yang akan diwujudkan (amal), bukan sesuatu yang tidak ada (meninggalkan amalan).
Artinya, mewujudkan sesuatu (menjalankan perbuatan) itu lebih diharapkan dibandingkan meniadakan sesuatu, menjalankan perintah, itulah asal dari tujuan syariat, sedangkan meninggalkan larangan adalah penyempurna untuk mencapai tujuan itu.
Syaikhul Islam menyebutkan alasan-alasan yang menunjukkan bahwa kaidah ini benar, berikut akan disebutkan 3 alasan saja yang disarikan dari penjelasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah:
Pertama, kebaikan yang paling agung adalah iman kepada Allah dan Rasul-Nya, sedangkan keburukan yang paling besar adalah kekafiran.
Iman adalah suatu hal yang harus diwujudkan, seorang tidak bisa dikatakan beriman secara dzahir kalau dia tidak menampakkan ushul (pokok) keimanannya, yaitu syahadat.
Dia tidak disebut sebagai mukmin secara batin jika tidak meyakini syahadat itu di dalam hatinya dan menghilangkan keraguan itu secara lahir dan batin.
Selain itu ia harus mewujudkan iman itu dengan amal saleh, sedangkan kekafiran adalah tidak adanya keimanan di dalam hati.
Perbandingan dosa antara ayah jin (iblis) dengan ayah manusia (Adam), mana yang lebih besar dan lebih dahulu dosanya?
Jawabannya adalah: iblis. Iblis tidak melaksanakan perintah karena menentang dan sombong dan itulah yang menimbulkan kemurkaan Allah, karena ia tidak mau melaksanakan perintah untuk bersujud.
Sedangkan dosa Adam adalah dosa kecil yaitu mengerjakan suatu hal yang dilarang: makan buah khuldi dari suatu pohon terlarang.
Dosa akibat menjalankan hal yang dilarang bisa dihapus dengan melakukan sesuatu yang diperintahkan, yaitu tobat dan mengiringinya dengan segera melakukan kebaikan dan amal saleh.
Kedua, dari sisi pelaksanaan dan hambatan di sekeliling, sering kali lebih berat meninggalkan larangan karena untuk menjalankan perintah masih ada keringanan sesuai keadaan (sebagaimana pendapat Imam Ahmad), bagi yang tidak bisa salat dengan berdiri bisa dengan duduk.
Jika tidak bisa dengan duduk maka bisa dilakukan dengan cara berbaring. Perintah dikerjakan sesuai dengan kemampuan, tapi meninggalkan larangan-larangan (keharaman) ada banyak tantangan dan godaan, seperti bujukan hawa nafsu dalam diri, bisikan setan, dan sebab-sebab duniawi lainnya.
Ketiga, penjelasan di atas memiliki hubungan erat dengan sabda Rasulullah dalam hadisnya:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ صَخْرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ : مَا نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَاجْتَنِبُوْهُ، وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَأْتُوْا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ، فَاِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِيْنَ مَنْ قَبْلَكُمْ كَثْرَةُ مَسَائِلِهمْ وَاخْتِلَافُهُمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ (رواه البخاري ومسلم)
“Dari Abi Hurairah A’bdi Rahman ibn Sakhra RA berkata: saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan:
“Apa yang aku larang terhadapmu maka tinggalkanlah, dan apa yang aku perintahkan kepadamu maka kerjakanlah (sesuai dengan kemampuanmu), maka sesungguhnya orang-orang sebelum kamu (terdahulu) telah binasa disebabkan pertanyaan-pertanyaan mereka dan mereka melakukan pertentangan atas Nabinya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Rasulullah juga telah mengingatkan kaum Muslim agar memelihara perintah dan larangan Allah Azza wa Jalla:
اِنَّ اللهَ فَرَضَ فَرَائِضَ فَلَا تُضَيِّعُوْهَا وَحَدَّ حُدُوْدًا فَلَا تَعْتَدُوْهَا
“Sungguh Allah telah mewajibkan berbagai kewajiban, karena itu jangan kalian menyia-nyiakannya. Allah pun telah menetapkan berbagai larangan, karena itu jangan kalian melanggarnya.” (HR. Al-Baihaqi)
Ada pun hikmah dari penjelasan di atas adalah, “Bahwa bukanlah dinamakan takwa kepada Allah dengan puasa siang hari dan qiyamul lail di malam hari serta mencampurkan kedua hal itu.
Akan tetapi, takwa kepada Allah itu adalah meninggalkan apa yang diharamkan Allah dan menjalankan hal yang diwajibkan Allah, karena; “Kebahagiaan dari segala kebahagiaan adalah panjang usia dalam ketaatan kepada Allah Azza wa Jalla.” (Musnad Asy- Syihab Imam al-Qudhay). (*/tim)