*) Oleh: Dr Zainuddin MZ, Lc, MA
Ketua Lajnah Tarjih Majelis Tarjih dan Tajdid PWM Jawa Timur
Pertanyaan:
Seorang teman Salafi pernah bertanya, bolehkah kurban patungan (secara keroyokan), padahal tidak ada tuntunannya dalam Kitab Allah dan sunah Rasulullah saw.
Misalnya, kurban dengan cara urunan di sekolah-sekolah atau kantor-kantor? Mohon pencerahannya ustadz. Jazakallah. (Hamba Allah, Surabaya)
Jawaban:
A. Definisi Kurban
Secara etimologi, kurban dari kata qaruba-yaqrubu berarti dekat. Al-qurbu maknanya kedekatan, dengan tambahan alif dan nun menjadi qurban atau kurban berarti sighat mubalaghah, yakni sedekat dekatnya.
Seperti ghadhab berarti marah, ghadban berarti klimaks dari kemarahan. Rahima artinya sayang, maka rahman berarti maha sayang, dan begitu seterusnya.
Secara terminologi, adalah salah satu bentuk ketaatan kepada Allah untuk tujuan kedekatan kepada Allah sedekat-dekatnya dengan media penyembelihan ternak kurban (bahimah an’am) berupa unta, sapi dan sejenisnya, dan kambing dan sejenisnya.
Dengan demikian tidak pada tempatnya menggunakan pemikiran liberal, misalnya karena masyarakat sudah bosan daging unta atau sapi atau kambing, lalu dialihkan penyembelihan kelinci atau lainnya.
B. Macam-Macam Kurban
Pertama, Hadyu, menyembelihan ternak kurban terkait syukuran sukses ibadah haji, khususnya yang berhaji tamattu’. Waktu penyembelihannya setelah wukuf di Arafah, apakah di Hari Raya Adha atau hari-hari tasyrik.
Kedua, Udhiyah, penyembelihan ternak kurban sebagai rasa syukur kebersamaan di Hari Raya Kurban bagi mereka yang tidak pergi haji, sehingga waktu penyembelihannya sama dengan kurban Hadyu.
Ketiga, Dam, akibat dari pelanggaran kewajiban-kewajiban terhadap manasik haji, yang di antara kafaratnya adalah penyembelihan ternak kurban.
Karena jenis dam bergantung dengan jenis pelanggarannya. Waktu penyembelihannya makin cepat makin baik, sesuai dengan kondisinya.
Dengan demikian istilah dam tamattu’, perlu diluruskan. Karena dalam pelaksanaan haji tamatu’ sama sekali tidak ditemukan jenis pelanggarannya, bahkan menurut jumhur ulama haji tamattu’ merupakan yang afdhal.
Keempat, Aqiqah, penyembelihan ternak kurban terkait syukuran dianugerahi anak. Penyembelihannya di hari ketujuh pasca kelahiran anak, walaupun dibolehkan kapan saja setelah itu dalam batas anak belum baligh.
Penjelasan macam-macam kurban ini sangat perlu, karena memiliki perbedaan hukum, mukalaf, distribusi, waktu penyembelihan dan sebagainya.
C. Siapa Mukalafnya?
Berbeda dengan kurban Hadyu yang mukalafnya secara individu. Untuk kurban Udhiyah mukalafnya adalah kolektif, atas nama keluarga, bukan atas nama individu. Di sinilah akar masalah yang membuat diskusi sering tidak terselesaikan dengan baik.
Dalam kurban Hadyu memang ditemukan kurban patungan, yakni seekor sapi atau unta untuk tujuh person. Sehingga jika sebuah keluarga besar sebanyak sepuluh orang menunaikan ibadah haji, maka tujuh di antara mereka bisa bersyarikat membeli seekor sapi.
Sedangkan tiga sisanya masing-masing seekor kambing, kecuali jika ada anggota keluarga yang tidak mampu, maka dia dapat menggantikannya dengan berpuasa sepuluh hari.
Hadis-hadis yang muncul bolehnya bersyarikat tujuh orang itu porsinya terkait dengan ibadah haji, bukan terkait perayaan Hari Raya Adha sebagaimana yang akan dipaparkan pada poin berikutnya.
Adapun terkait kurban perayaan Hari Raya Adha, mukalafnya adalah keluarga (kolektif) bukan individu. Sebagaimana yang diriwayatkan Mihnaf bin Sulaim:
عَنْ مِخْنَفِ بْنِ سُلَيْمٍ رَضِيَ الله عَنْهُ قَالَ: كُنَّا وُقُوفًا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِعَرَفَاتٍ فَسَمِعْتُهُ يَقُولُ: يَا أَيُّهَا النَّاسُ عَلَى كُلِّ أَهْلِ بَيْتٍ فِي كُلِّ عَامٍ أُضْحِيَّةٌ وَعَتِيرَةٌ.
“Mihnaf bin Sulaim ra. berkata: Saat kami wukuf di Arafah bersama Rasulullah saw. aku mendengarnya bersabda: Wahai manusia, pada setiap keluarga di setiap tahun penyembelihan Udhiyah dan Atirah. (Hr. Baihaqi: 18789; Ahmad: 17920; Abu Dawud: 2788; Tirmidzi: 1518; Nasai: 4224; Ibnu Majah: 3125)
Pada awalnya, Albani menilainya dhaif, namun akhirnya rujuk dan menilainya shahih. Periksa Shahih Sunan Tirmidzi: 1518. Periksa juga Taraju’at Albani: 193.
Itulah sebabnya hadis riwayat Abu Hurairah berikut ini bermasalah:
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةٌ وَلَمْ يُضَحِّ, فَلَا يَقْرَبَنَّ مُصَلَّانَا.
“Dinarasikan Abu Hurairah ra., Rasulullah saw bersabda: Barangsiapa mempunyai kemampuan dan ia tidak menyembelih qurban, maka janganlah ia mendekat dengan tempat shalat kami.” (Hr. Ahmad: 8259, Ibnu Majah: 3123, Hakim: 7565, Baihaqi: 18791)
Pertama, redaksi man kana berkonotasi secara individu, pahahal yang benar adalah untuk kolektif. Jika dalam satu keluarga berjumlah enam orang dan semuanya mampu, maka berapa jumlah kurbannya?
Kedua, tidak adanya korelasi yang mampu tidak berkurban dengan pelaksanaan salat. Artinya, walaupun ada seseorang mampu, namun tidak berkurban dan ia ikut salat Hari Raya Idul Adha jika syarat dan rukunnya terpenuhi, maka salatnya sah.
Itulah sebabnya, Ibnu Hajar al-Asqalani setelah mendatangkan hadis di atas dalam Bulughul Maram, ia berkomentar yang rajih dalam pandangan ulama adalah mauquf (perkataan Abu Hurairah), bukan sabda Nabi.
Dalam kasus seperti ini ucapan Abu Hurairah jelas berseberangan dengan hadis sahih, maka tidak mungkin dikedepankan.
Apalagi jika dikaitkan dengan hadis lain: Tiga hal bagiku wajib dan bagi kalian sunah, di antaranya adalah penyembelihan kurban.
D. Qurban Udhiyah untuk Kolektif
Dari paparan di depan dapat dipahami bahwa mukalaf kurban Udhiyah adalah atas nama keluarga. Problem akademiknya, bagaimana seseorang memahami konsep keluarga itu sendiri.
Bagi yang memahami keluarga itu hanya anak, bapak, cucu, saudara dan kesejajarannya baik secara nasab maupun pernikahan, tentunya setiap individu keluarga boleh urunan untuk menyembelih kurban Udhiyah.
Namun jika seseorang memahami konsep keluarga termasuk ikatan kekerabatan dalam interaksi sosial, misalnya keluarga besar pengurus PWM Jatim atau keluarga besar SMA MUHI Sidoarjo, urunan untuk dapat membeli seekor kambing atau seekor sapi, kenapa tidak dibenarkan?
E. Hadis Kurban Bersyarikat
Kendala utama kesulitan memahami kurban patungan dikarenakan adanya beberapa hadis yang secara dhahir, kurban apapun secara patungan dibenarkan, jika tujuh orang bersyarikat untuk membeli seekor sapi atau unta.
Pertama, hadis Jabir ra:
وَعَنْ جَابِرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: سَاقَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم عَامَ الْحُدَيْبِيَةِ سَبْعِينَ بَدَنَةً, قَالَ: فَنَحَرَ الْبَدَنَةَ عَنْ سَبْعَةٍ
“Jabir berkata: Rasulullah saw. menuntun tujuh puluh unta saat tahun Hudaibiyah. Katanya: Kami berqurban seekor unta untuk tujuh orang.” (Hr. Ahmad: 14438; Thabari dalam Tarikh: 2/116; dan Baihaqi dalam Dalail: 31/294)
Analisa: Hadis ini dinilai Arnauth, sanadnya kuat, namun porsinya bukan pada kurban Udhiyah, melainkan kurban Dam.
Rasulullah saw. dan para sahabat gagal atau muhshar (terhalang) melanjutkan perjalanan hajinya, sehingga di tempat Hudaibiyan dilakukan perjanjian dengan Quraisy, bahwa umat Islam baru boleh menjalani haji pada tahun berikutnya. Maka konsekuensinya adalah menyembelih kurban.
Kedua, hadis Ibnu Abbas ra:
وَعَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: أَهْدَى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم عَامَ الْحُدَيْبِيَةِ) (فِي بُدْنِهِ جَمَلًا كَانَ لِأَبِي جَهْلٍ) (فِي رَأْسِهِ بُرَةُ فِضَّةٍ يَغِيظُ بِذَلِكَ الْمُشْرِكِينَ)
“Ibnu Abbas ra. berkata: (Rasulullah swa. menyembelih qurban Hadyu pada tahun Hudaibiyah) (seekor unta yang bagus awalnya milik Abu Jahal) (pada hidungnya terdapat lingkaran cincin perak, untuk membangkitkan kemarahan orang-orang musyrik).” (Hr. Abu Dawud: 1749; Ibnu Majah: 3100; Ahmad: 2079)
Analisa: Hadis ini dinilai hasan oleh Albani. Periksa sahih dan dhaif sunan Abi Dawud: 1749.
Porsinya sama dengan hadis di atas, yakni pada kurban Hadyu, bukan pada kurban Udhiyah. Terjadinya juga di tahun perjanjian Hudaibiyah ketika Nabi terhalang hendak menjalani ibadah haji.
Ketiga, hadis Jabir bin Abdullah ra:
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: (خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم مُهِلِّينَ بِالْحَجِّ) (فَأَمَرَنَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم إِذَا أَحْلَلْنَا أَنْ نُهْدِيَ) (وَأَنْ نَشْتَرِكَ فِي الْإِبِلِ وَالْبَقَرِ, كُلُّ سَبْعَةٍ مِنَّا فِي بَدَنَةٍ) (فَنَحَرْنَا الْبَعِيرَ عَنْ سَبْعَةٍ, وَالْبَقَرَةَ عَنْ سَبْعَةٍ) (فَقَالَ رَجُلٌ لِجَابِرٍ: أَيُشْتَرَكُ فِي الْبَدَنَةِ مَا يُشْتَرَكُ فِي الْجَزُورِ؟ قَالَ: مَا هِيَ إِلَّا مِنْ الْبُدْنِ)
“Jabir bin Abdullah ra. berkata: (Kami pergi berihram haji bersama Rasulullah saw.) (Lalu Nabi memerintah kami tahalul dan menyembelih kurban Hadyu) (kami bersyarikat pada kurban unta dan sapi, setiap tujuh orang dengan seekor unta)
(Maka kami menyembelih seekor unta untuk tujuh orang, sapi juga untuk tujuh orang) (Lalu seeorang bertanya Jabir: Apakah siyarikatkan pada unta seperti pada kambing? Ia menjawab, hanyalah pada unta). (Hr. Muslim: 1217, 1318, 13718; Ibnu Khuzaimah: 2900; Ahmad: 14148, 14965, 15087; dan Baihaqi: 19018)
Analisa: Hadis di atas sahih, porsinya juga kurban Hadyu, yakni saat para sahabat berihram untuk haji.
Keempat, hadis Jabir bin Abdullah ra:
وَعَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم قَالَ: الْبَقَرَةُ عَنْ سَبْعَةٍ, وَالْجَزُورُ عَنْ سَبْعَةٍ
“Dinarasikan Jabir bin Abdullah ra., Nabi saw. bersabda: Seekor sapi untuk tujuh orang, dan seekor unta juga untuk tujuh orang.” (Hr. Ibnu Hibban: 1781; Abu Dawud: 2808; Ahmad: 14633; Thabrani dalam Ausath: 5917)
Analisa: Hadis ini dinilai sahih oleh Albani. Periksa Shahih Jami’ Shaghir: 2889.
Walaupun tampaknya umum, berlaku setiap jenis kurban, namun yang jeli pasti memahami porsi hadis ini untuk kurban Hadyu sebagaimana hadis Jabir lainnya. Indikasinya, mukalafnya bukan kolektif, melainkan untuk individu.
Kelima, hadis Abu Zubair:
وَعَنْ أَبِي الزُّبَيْرِ أَنَّهُ سَمِعَ جَابِرَ بْنَ عَبْدِ اللهِ بيُحَدِّثُ عَنْ حَجَّةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم قَالَ: (فَأَمَرَنَا إِذَا أَحْلَلْنَا أَنْ نُهْدِيَ , وَيَجْتَمِعَ النَّفَرُ مِنَّا فِي الْهَدِيَّةِ) (فَنَذْبَحُ الْبَقَرَةَ عَنْ سَبْعَةٍ نَشْتَرِكُ فِيهَا) (وَالْجَزُورَ عَنْ سَبْعَةٍ نَشْتَرِكُ فِيهَا) (وَذَلِكَ حِينَ أَمَرَهُمْ أَنْ يَحِلُّوا مِنْ حَجِّهِمْ)
“Abu Zubair mendengar Jabir bin Abdullah menceritakan haji Nabi saw. Katanya: (Nabi memerintah kami jika tahalul untuk menyembelih qurban Hadyu, kami bersyarikat dalam qurban itu)
(kami menyembelih seekor sapi untuk bersyarikat padanya tujuh orang) (dan seekor unta juga untuk tujuh orang) (Yakni saat Nabi memerintah mereka untuk tahalul dari hajinya).” (Hr. Muslim: 1318; Abu Dawud: 2807; dan Nasai: 4393)
Analisa: Hadits di atas sahih. Porsinya jelas pada kurban Hayu, yakni ketika Nabi memerintahkan para sahabat tahulul dari ihram hajinya (fashul haji ila umrah), kemudian mereka diperintah menyembelih kurban Hadyu secara bersyarikat.
Beginilah cara memahami hadis yang kami terapkan dalam kader konsorsium hadis. Tidak mengambil hadis secara sepotong, namun harus dirangkum dari berbagai referensi agar dapat diketahui pada porsi apa hadis itu disampaikan oleh Rasulullah saw.
Yakni, memahami hadis secara proporsional. Adakah hadis yang spesifik, misalnya ketika kami di Madinah, kami berkurban Udhiyah bersyarikat seekor sapi untuk tujuh orang?
F. Kesimpulan
Saat menikmati perayaan Hari Raya Kurban, semua elemen masyarakat terlibat mengonsumsinya, baik yang kaya maupun yang miskin.
Bahkan yang menggembirakan, Muhammadiyah telah memelopori kurban sapi raksasa. Jika dibebankan hanya untuk tujuh orang, tentu menjadi beban bagi umat.
Alhamdulillah, warga Muhammadiyah dengan urunan semampunya dapat membeli sapi tersebut. Untuk dinikmati secara kebersamaan. Sementara kurban Hadyu hanya diperuntukkan untuk qani’ wa mu’tar, al-bais al-faqir. (*)